PENGEMBANGAN TES UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI (HOTS)
A.
Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS)
sebagai transfer ilmu pengetahuan
Kemampuan
berpikir tingkat tinggi (higher order
thinking skills) dapat dilihat dari definisi menurut Brookhart (2010:5)
yaitu
Higher
Order thinking conceived of as the top
end of the Bloom’s cognitive taxonomy: Analyze, Evaluate, and Create, or, in
the older labguage, Analysis, Synthesis, and Evaluation. The teaching goal
behind any of cognitive taxonomy is equipping student to be able to do
transfer. ”being able to think” means studenk can apply the knowledge and skill
they developed during their learning to new contexts. “New” here means
applications that the student has not thought of before, not necessarily
something universally new. Higher-order thinking is conceived as students being
able to relate their learning to other elements beyond those they were taught
to associate with it.
Pernyataan ini merupakan fungsi higher
order thinking skill dalam transfer ilmu pengetahuan yang level kemampuan
berpikirnya merupakan bagian dari Taxonomy
Bloom. Pernyataan tersebut menyiratkan beberapa hal, sebagai berikut: (1)
kemampuan berpikir tingkat tinggi berada pada bagian atas taksonomi kognitif
Bloom yang meliputi kemampuan analisis, evaluasi dan mencipta, (2) tujuan pembelajaran dalam taksonomi kognitif
adalah membekali peserta agar dapat melakukan proses transfer pengetahuan, dan
(3) kemampuan berpikir aartinya pererta didik mampu menerapkan pengetahuan dan
keterampilan yang mereka kembangkan selama mempelajari hal yang baru. “baru”
yang dimaksudkan adalah aplikasi konsep yang belum terpikirkan sebelumnya oleh
peserta didik, ini artinya belum tentu baru secara menyeluruh. Kemampuan
berpikir tingkat tinggi berarti
kemampuan peserta didik untuk
mengaplikasikan dan menghubungkan pembelajaran dengan hal-hal baru yang belum
pernah diajarkan.
Higher Order Thinking Skills atau kemampuan berpikir tingkat
tinggi pada dasarnya berarti pemikiran yang terjadi pada tingkat tinggi dalam
suatu proses kognitif. Menurut taksonomi Bloom yang telah dirievisi
keterampilan berpikir pada ranah kognitif terbagi menjadi enam tingkatan, yaitu
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi (Syafa’ah
& Handayani, 2015). Schraw et al. (2011:
191) mengklasifikasikan keterampilan berpikir yang dimiliki Bloom menjadi dua
tingkatan yaitu keterampilan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skills) yang terdiri atas pengetahuan dan
pemahaman, serta keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills) yang terdiri atas aplikasi, analisis,
sintesis dan evaluasi.
Setiap tingkat kemampuan berpikir pada
taksonomi Bloom membimbing peserta didik untuk menguasai kemampuan yang
lebih tinggi. Namun, pada pendidikan
teknik kemampuan analisis merupakan
kemampuan yang harus dikuasai peserta didik karena diharapkan aplikasinya
terhadap teori-teori, prinsip-prinsip dan konsep yang mereka pelajari ketika
ketika mempelajari berbagai objek. Gambar
1 menunjukan taksomoni Bloom sebelum dan sesudah direvisi.
Gambar 1. Taksonomi Bloom (domain
kognitif)
(Sumber: Narayanan et al., 2015:
2)
Dalam proses pembelajaran untuk
memudahkan guru dalam membimbing peserta didik dalam mencapai tiap tingkat
dalam taksonomi Bloom khususnya pada level kemampuan berpikir tingkat tinggi yang
telah direvisi dapat digunakan Tabel 1. Tabel 1 menjelaskan tiap tingkat HOTS
dalam pembelajaran yang akan dicapai dan kata kerja yang dapat digunakan dalam
pembelajaran.
Tabel 1. Level HOTS dan Kata Operasional
Tingkat HOTS
|
Kata Operasional
|
Analisis: dapatkah
peserta didik membedakan antara konsep-konsep yang berbeda?
|
Menilai, membandingkan, mengkritik, mengurutkan,
membedakan, menentukan, mengurutkan
|
Evaluasi: dapatkah
peserta didik membenarkan suatu pernyataan atau pilihan tertentu dengan
memberikan alasan
|
Mengevaluasi, menilai, mengkritik,
memilih/menyeleksi, menghubungkan, memberikan pendapat
|
Mencipta: dapatkah
peserta didik membuat atau mengembangkan produk, teori atau sudut pandang
baru berdasarkan pembelajaran?
|
Merakit, mendisgn, merancang, membuat,
memformulasikan.
|
(Sumber: Narayanan et al., 2015:
4)
Selain menurut taksonomi yang direvisi
Bloom, ada juga HOT model Heong et al. (2011) yang menyatakan bahwa
keterampilan berpikir adalah penting untuk peserta didik dan pendidik terutama
di lembaga pendidikan tinggi. Heong et al. (2011) mengindentifikasi 13
keterampilan berpikir tingkat tinggi, yaitu: membandingkan (comparing), mengklasifikasi, (classifying), menginduksi (inducing), menyimpulkan (deducing), menganalisis kesalahan (analyzing error), membangun pendukung (constructing support), menganalisis
perspektif (analyzing perspective),
mengabstraksi (abstracting),
mengambil keputusan (making decision),
memecahkan masalah (solving problem),
menemukan eksperimen (inquiring
eksperimen), dan menemukan konsep dalam kerangka dimensi belajar (inventing concept which work within the
dimensions of learning framework). Disamping itu, Heong et al. (2011) juga
menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat kemampuan berpikir
tingkat tinggi dan jenis kelamin, hasil akademis, dan status sosial ekonomi.
Oleh karena itu peserta didik harus belajar keterampilan tberpikir tingkat
tinggi untuk membantu mereka memecahkan masalah dalam belajar dan meningkatkan
hasil akademik mereka. Dengan demikian, pemahaman dan hasil belajar fisika
peserta didik akan meningkat dalam pembelajaran.
Brookhart (2010) menyatakan bahwa
kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) artinya peserta didik mampu menerapkan
pengetahuan dan keterampilan yang mereka kembangkan selama belajar pada konteks
aplikasi konsep yang belum terpikirkan sebelumnya oleh peserta didik, namun
konsep tersebut sudah diajarkan. Berpikir tingkat tinggi berarti kemampuan
peserta didik untuk menghubungkan pembelajaran dengan hal-hal lain yang belum
pernah diajarkan. Sedangkan menurut Tajularipin Sulaiman et al. (2015)
kemampuan berpikir tingkat tinggi mempunyai tiga komponen yaitu kemampuan
berpikir, kebiasaan berpikir dan metakognitif. Kemampuan berpikir tingkat
tinggi dapat ditingkatkan dengan memberikan persoalan berupa open-ended
question, tugas dalam kelas dan umpan balik dalam pembelajaran.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi atau
Higher Order Thinking Skills (HOTS)
termasuk keterampilan seperti berpikir kreatif dan kritis, analisis, pemecahan
masalah dan visualisasi. Keterampilan ini melibatkan mengkategorikan item,
membandingkan dan membedakan ide-ide dan teori-teori, mampu menulis serta
memecahkan masalah. Di dalam kelas kemampuan dan keterampilan yang mencakup
penggunaan HOTS adalah berpikir kompleks yang melampaui mengingat dasar
fakta-fakta seperti evaluasi dan penemuan, memungkinkan peserta didik untuk
menyimpan informasi dan untuk menerapkan solusi pemecahan masalah untuk masalah
dunia nyata. Oleh karena itu, kemampuan berpikir tingkat tinggi dihargai karena
diyakini dapat mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan pekerjaan
serta kehidupan sehari-hari (Ramos et al., 2013).
Kemampuan berpikir tingkat tinggi
fisika yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah kemampuan menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta (create) pada bidang fisika. Anderson
& Krathwohl (2001:30) mendefinisikan ketiga kemampuan tersebut sebagai
berikut:
Analyzing
is breaking material concepts into parts, determining how the parts relate or
interrelate to one another or to an overall structure or purpose. Evaluating is
making judgments based on kriteria and
standards thorough checking and critiguing. Creating is putting element
together to form a coherent or functional whole; reorganizing elements into a
new pattern or structure thorough generating, plabning and producing.
Definisi tersebut berarti bahwa: (1)
menganalisis adalah menguraikan bahan atau konsep ke dalam bagian-bagiannya,
menentukan hubungan antar bagian, atau hubungan bagian terhadap struktur atau
tujuan secara keseluruhan. Tindakan yang sesuai berupa membedakan,
mengorganisasikan, dan menghubungkan, serta mampu membedakan antara komponen
atau bagian; (2) Mengevaluasi adalah membuat penilaian berdasarkan
kriteria-kriteria dan standar-standar dengan melalui pemeriksaan dan kritik.
(3) Menciptakan adalah memasukan elemen untuk membentuk satu kesatuan yang
koheren atau fungsional atau melakukan reorganisasi elemen menjadi pola atau
struktur baru melalui proses membangkitkan, merencanakan, atau menghasilkan.
Kegiatan yang termasuk mencipta adalah mensintesis bagian menjadi sesuatu yang
baru, betuk baru atau produk baru.
Kemampuan ini ditunjukan dengan
menyelesaikan persoalan fisika dengan menganalisis, mengevaluasi dan mencipta.
Kemampuan ini sebenarnya sudah dibiasakan dalam fisika, karena fisika sudah
melatih mengembangkan kemampuan berpikir logis, kritis, objektif, memutuskan
sesuatu berdasarkan data yang tetap dengan menggunakan metode ilmiah, dan
kemampuan untuk komunikasi ilmiah. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi, ada lima langkah pembelajaran yang dapat ditempuh, yakni: (1)
menentukan tujuan pembelajaran, (2) mengajarkan melalui pertanyaan, (3)
mempraktikan, (4) menelaah, mempertajam dan meningkatkan pemahaman, dan (5)
mempraktikan umpan balik dan menilai pembelajaran (Limbach & Waugh, 2010).
Nitko & Bookhart (2011:223)
menjelaskan tentang dasar penilaian kemampuan higher order thinking skills sebagai berikut
A basic rule for assestment of higher order thinking skill is to use tasks
tahat require use of knowledge and skills in new or novel situation. If you
only asses student s ability to recall what is in the next-book or what you
say, you will not know whether they understand or can apply the reasons,
explabations, and interpretations. In short, you must use novel materials to
asses higher order thinking. One way to do that is use to context-depent butir
sets.
Berdasarkan pernyataan tersebut,
prinsip dasar untuk melakukan penelitian terhadap kemampuan higher order
thinking adalah menggunakann tugas-tugas yang memerlukan pengetahuan dan
keterampilan di situasi yang baru. Bahan-bahan yang baru harus digunakan untuk
melakukan penilaian terhadap kemampuan higher
order thinking. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
mengunakan set-set butir yang bergantung
pada konteks. Untuk menilai kemampuan HOTS peserta didik dibutuhkan sebuah
instrumen yang melibat kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah dan
kreatifitas yang dapat menantang peserta didik sehingga dibutuhkan instrumen
penilaian tertentu yang disusun berdasarkan kompetensi yang terkait dalam pembelajaran (McNeill et
al, 2012).
Instrumen Penilaian HOTS yang dibuat
merupakan pengembangan instrumen penilaian kognitif untuk kemampuan berpikir
tingkat tinggi peserta didik pada materi fisika. Instrumen yang meliputi tes
dan pedoman penilaian ini diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Edi
Istiyono, Djemari Mardapi dan Suparno (2014) mengenai pengembangan tes
kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika (PhysTHOTS) peserta didik SMA.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika yang dimaksud terdiri atas kemampuan
fisika dalam menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan. Tes yang digunakan
untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi fisika terdiri atas tes
berbentuk pilihan ganda beralasan yang dinamakan tes kemampuan berpikir tingkat
tinggi fisika Physics Test for Higher
Order Thinking Skills (PhysTHOTS). Kisi-kisi instrumen disusun berdasarkan
aspek dan subaspek kemampuan berpikir tingkat tinggi, yang selanjutnya
digunakan untuk menyusun item-item. Instrumen penilaian dalam
penelitian yang akan dilakukan diadaptasi berdasarkan PhysTHOTS sebagai
instrumen penilaian untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
B.
Kemampuan Berpikir
Kritis
Johnson (2009: 183) menyatakan
berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan
dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan,
membujuk, menganalisis pendapat atau asumsi, dan melakukan ilmiah. Lebih
spesifik lagi, Williams (2011) mendefinisikan bahwa kemampuan berpikir kritis
dalam ilmu sains adalah kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan yang relevan
dan reliabel tentang alam semesta. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui serangkaian
pengujian hipotesis yang sisematis, sehingga kemampuan berpikir kritis
diperlukan agar serangkaian proses tersebut berakhir pada penarikan kesimpulan
yang benar. William (2011) berpendapat sains diidentifiksi sebagai tempat yang
baik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Hal ini dikarenakan
hubungan antara pemikiran ilmiah dan kemampuan berpikir kritis.
Cottrell (2005: 1) mengemukakan bahwa
“Critical thinking is a cognitive
activity, associated with using the mind” yang artinya berpikir kritis
merupakan aktifitas kognitif, yaitu berhubungan dengan penggunaan pikiran.
Berdasarkan dimensi kognitif Bloom, kemampuan berpikir kritis menempati bagian
dimensi analisis (C4), sintesis (C5), dan evaluasi (C6). Tampak bahwa dimensi-dimensi
ini diambil dari sistem taksonomi Bloom yang lama. Jika dicocokkan dengan
taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson & Krathwohl (2010), maka
kemampuan berpikir kritis menempati bagian dimansi analisis (C4), dan evaluasi
(C5), karena pada versi revisi, dimensi sintesis diintegrasikan ke dalam
dimensi analisis.
Anderson & Krathwohl (2010)
menjelaskan bahwa dimensi analisis merupakan dimensi di mana terjadi pemecahan
suatu materi menjadi bagian-bagian yang kecil dalam suatu keterkaitan hubungan
antar bagian-bagian tersebut. Dimensi menganalisis meliputi proses kognitif
membedakan, mengorganisasi,dan mengatribusikan. Selanjutnya, Anderson &
Krathwohl (2010) mendefinisikan dimensi evaluasi sebagai dimensi di mana
terjadi pengambilan keputusan berdasarkan kriteria dan standar tertentu.
Kriteria-kriteria yang biasanya digunakan yaitu kualitas, efektivitas, efisien,
dan konsistensi. Anderson &
Krathwohl menjelaskan lebih lanjut bahwa pada kategori mengevaluasi mencakup
proses kognitif yaitu memeriksa keputusan yang telah diambil berdasarkan
kriteria internal dan mengkritik keputusan yang diambil berdasarkan kriteria
eksternal.
Nitko & Brookhart (2011: 236)
berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis paling baik diukur dan dinilai
dalam konteks pembelajaran tertentu, bukan secara umum. Untuk itu, guru yang
berkepentingan mengukur kemampuan berpikir kritis perlu mengejawantahkan
indikator-indikator kemampuan berpikir kritis ke dalam konteks materi
pembelajaran yang bersangkutan. Selain itu, penting pula menghubungkan materi
pembelajaran tersebut dengan kondisi kehidupan keseharian dalam melakukan
pengukuran terhadapa kemampuan berpikir kritis.
Keterampilan berpikir kritis menurut
Nitko & Brookhart (2011:234-236) diidentifikasi menjadi lima kategori,
yaitu: a) Klarifikasi dasar, b) dukungan dasar, c) menyimpulkan, d) klarifikasi
tingkat lanjut, e) strategi dan taktik. Dalam penelitian pengembangan ini,
indikator berpikir kritis yang diteliti terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Aspek Kemampuan Berpikir Kritis
Kategori
|
Indikator
|
Contoh indikator soal
|
Melakukan Klarifikasi
dasar
|
1. Fokus pada pertanyaan
|
Disajikan sebuah masalah/problem, aturan, kartun, atau eksperimen dan
hasilnya, peserta didik dapat menentukan masalah utama, kriteria yang
digunakan untuk mengevaluasi kualitas, kebenaran argumen atau kesimpulan.
|
2. Menganalisis argumen
|
Disajikan deskripsi sebuah situasi atau satu/dua argumentasi, peserta
didik dapat: (1) menyimpulkan argumentasi secara cepat, (2) memberikan alasan
yang mendukung argumen yang disajikan, (3) memberikan alasan tidak mendukung
argumen yang disajikan.
|
|
Menilai dukungan dasar
|
3. Menilai kredibilitas
sumber
|
Disajikan sebuah teks argumentasi, iklan, atau eksperimen dan
interpretasinya, peserta didik menentukan bagian yang dapat dipertimbangan
untuk dapat dipercaya (atau tidak dapat dipercaya), serta memberikan
alasannya.
|
Membuat Kesimpulan
|
4. Membuat Kesimpulan
secara deduktif
|
Disajikan sebuah
pernyataan yang diasumsikan kepada peserta didik adalah benar dan pilihannya
terdiri dari: (1) satu kesimpulan yang benar dan logis, (2) dua atau lebih
kesimpulan yang benar dan logis, peserta didik dapat membandingkan kesimpulan
yang sesuai dengan pernyataan yang disajikan atau kesimpulan yang harus
diikuti.
|
5. Membuat kesimpulan
secara induktif
|
Disajikan sebuah pernyataan, informasi/data, dan beberapa kemungkinan
kesimpulan, peserta didik dapat menentukan sebuah kesimpulan yang tepat dan
memberikan alasannya.
|
|
Melakukan klarifikasi
tingkat lanjut
|
6. menilai definisi
|
Disajikan deskripsi sebuah situasi, pernyataan masalah, dan kemungkinan
penyelesaian masalahnya, peserta didik dapat menentukan: (1) solusi yang
positif dan negatif, (2) solusi mana yang paling tepat untuk memecahkan
masalah
yang disajikan, dan
dapat memberikan alasannya.
|
7. mendefinisikan
asumsi
|
Disajikan sebuah argumentasi, beberapa pilihan yang implisit di dalam
asumsi, peserta didik dapat menentukan sebuah pilihan yang tepat sesuai
dengan asumsi.
|
|
Menerapkan strategi dan
taktik dalam menyelesaikan masalah
|
8. Mengambil keputusan
dalam tindakan
|
Merumuskan alternatif
solusi
|
Adaptasi dari
Nitko & Brookhart (2011: 234-236)
Nitko & Brookhart (2011: 237-239)
menambahkan bahwa instrumen tes utuk mengukur kemampuan berpikir kritis adalah
berupa tes uraian. Di dalamnya mengandung deskripsi situasi, kemudian diikuti
dengan pertanyaan yang mengarah pada indikator kemampuan berpikir kritis
tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Mundilarto (2010: 58, 61), yaitu tes
berbetuk uraian sangat sesuai untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi
peserta didik. Kemampuan berpikir kritis termasuk dalam kemampuan berpikir
tingkat tinggi, sehingga tepat bila diukur dengan menggunakan tes uraian.
Karena jawaban responden pasti beragam, maka untuk meminimalisir unsur
subjektifitas dalam melakukan penilaian, diperlukan rubrik penilaian yang jelas
dan rinci.
C. Kemampuan Berpikir Kreatif
Johnson (2009: 183), berpikir kreatif adalah kegiatan mental yang memupuk
ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman yang baru. Johnson (2009) menambahkan
bahwa berpikir kreatif merupakan sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih
dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan
kemungkinan-kemungkinan baru, membuat sudut pandang yang menakjubkan, serta
membangkitkan ide-ide yang tidak terduga. Berpikir kreatif merupakan kegiatan
mental yang menghasilkan sesuatu yang baru hasil dari pengembangan.
Utami Munandar (2002: 37) menyatakan “Beberapa ciri pribadi yang kreatif
yaitu: imajinatif, mempunyai prakarsa, mempunyai minat luas, mandiri dalam
berpikir, senang berpetualang, penuh energi, percaya diri, bersedia mengambil
risiko, dan berani dalam berpendirian dan berkeyakinan”. Dari uraian tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri kreatif antara lain:
a. Bebas dalam berpikir dan bertindak
b. Adanya inisiatif menumbuhkan rasa ingin tahu
c. Percaya pada diri sendiri
d. Mempunyai daya imajinasi yang baik
Untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif digunakan tes uraian untuk
memperoleh data kemampuan berpikir kreatif sebelum dan setelah pembelajaran.
Aspek dan indikator keterampilan berpikir kreatif yang diukur dalam penelitian
ini ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Indikator Kemampuan
Berpikir Kreatif (KBK)
Aspek KBK
|
Indikator
|
a. Fluency (Kelancaran)
|
·
Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan
·
Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah
|
b. Flexibility (Keluwesan)
|
·
Memberikan bermacam-macam penafsiran terhadap suatu gambar, cerita, atau
masalah
·
Jika diberi suatu masalah biasanya memikirkan bermacam cara yang berbeda
untuk menyelesaikannya
·
Menggolongkan hal-hal menurut kategori yang berbeda
|
c. Originality (Keaslian)
|
·
Memikirkan masalah-masalah yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain
·
Setelah membaca atau mendengar gagasan-gagasan, bekerja untuk menemukan
penyelesaian yang baru
|
d. Elaboration (Keterperincian)
|
·
Mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah
·
Mengembangkan atau memperkaya gagasan orang lain
|
Definisi dari setiap ciri tersebut menurut Utami Munandar (2002: 192)
sebagai berikut: kemampuan berpikir kreatif dalam fisika berdasarkan beberapa
pendapat di atas dikelompokkan menjadi empat aspek yaitu (a) fluency (kelancaran), menunjukkan
kemampuan peserta didik dalam memberikan banyak ide dan menyelesaikan masalah
dengan jawaban yang tepat; (b) flexibility
(keluwesan), menunjukkan kemampuan peserta didik untuk memecahkan masalah
dalam satu cara dan kemudian menggunakan banyak cara; (c) originality (keaslian), kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan
masalah menggunakan caranya sendiri; dan (d) elaboration, menunjukkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah
dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci.
D. Penyusunan
Butir Soal yang Menuntut
Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Pengembangan butir soal harus
mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan, baik untuk penulisan soal secara
umum maupun rambu-rambu berdasarkan tingkat berpikir peserta didik yang mengerjakan
soal. Dalam pembuatan soal berpikir tingkat tinggi terdapat beberapa kesulitan.
Salah satunya kesulitan menentukan perilaku yang diukur dan kesulitan dalam
merumuskan masalah yang dijadikan dasar pertanyaan.
Pengembangan soal-soal pembelajaran Fisika
untuk mengukur keterampilan analisis, sintesis, evaluasi dapat dilakukan dengan
menyajikan stimulus dalam bentuk data percobaan, grafik, gambar suatu fenomena
atau deskripsi singkat suatu fenomena yang selanjutnya digunakan siswa untuk
menjawab soal. Soal-soal untuk pengujian ini dapat dibuat dalam bentuk soal
pilihan ganda maupun uraian. Teknik penulisan soal berpikir tingkat tinggi
secara umum hampir sama dengan teknik penulisan soal-soal biasa tetapi karena
peserta didik diuji pada proses analisis, sintesis atau evaluasi, maka pada
soal harus ada komponen yang dapat dianalisis, disintesis atau dievaluasi.
Komponen ini di dalam soal dikenal dengan istilah stimulus. Selain itu
soal-soal fisika juga harus menguji keterampilan proses fisika. Oleh karena itu
kata kerja yang dipilih pada ranah kognitif diutamakan yang sesuai dengan
keterampilan proses. Untuk soal-soal fisika, guru dapat memilih kata kerja yang
sesuai dengan konsep fisika yang dipelajari peserta didik dan sesuai dengan
indikator hasil belajar yang diturunkan dari kompetensi dasar yang harus
dicapai peserta didik pada setiap konsep fisika.
Dalam menulis soal untuk pengembangan higher
order thinking skill (HOTS) atau keterampilan berpikir tingkat tinggi
terlebih dahulu kita harus mengetahui bahwa berpikir tingkat tinggi dibagi
menjadi empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, membuat keputusan, berpikir
kritis dan berpikir kreatif. Ada beberapa cara yang dapat dijadikan pedoman
oleh para penulis soal untuk menulis butir soal yang menuntut penalaran tinggi.
Caranya adalah seperti berikut ini.
1. Materi yang akan
ditanyakan diukur dengan perilaku: pemahaman, penerapan, sintesis, analisis,
atau evaluasi (bukan hanya ingatan).
2. Setiap pertanyaan diberikan dasar pertanyaan
(stimulus).
Agar butir soal yang ditulis dapat menuntut
penalaran tinggi, maka setiap butir soal selalu diberikan dasar pertanyaan
(stimulus) yang berbentuk sumber/bahan bacaan.
3. Mengukur kemampuan berpikir kritis.
Ada 11 kemampuan berpikir kritis yang dapat
dijadikan dasar dalam menulis butir soal yang menuntut penalaran tinggi.
a.
Menfokuskan
pada pertanyaan
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah
masalah/problem, aturan, kartun, atau eksperimen dan hasilnya, peserta didik
dapat menentukan masalah utama, kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi
kualitas, kebenaran argumen atau kesimpulan.
b. Menganalisis argumen
Contoh indikator
soal: Disajikan deskripsi sebuah situasi atau satu/dua argumentasi, peserta
didik dapat: (1) menyimpulkan argumentasi secara cepat, (2) memberikan alasan
yang mendukung argumen yang disajikan, (3) memberikan alasan tidak mendukung
argumen yang disajikan.
c.
Mempertimbangkan
yang dapat dipercaya
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah teks
argumentasi, iklan, atau eksperimen dan interpretasinya, peserta didik
menentukan bagian yang dapat dipertimbangan untuk dapat dipercaya (atau tidak
dapat dipercaya), serta memberikan alasannya.
d.
Mempertimbangkan
laporan observasi
Contoh indikator
soalnya: Disajikan deskripsi konteks,
laporan observasi, atau laporan observer/reporter, peserta didik dapat
mempercayai atau tidak terhadap laporan itu dan memberikan alasannya.
e.
Membandingkan
kesimpulan
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah pernyataan
yang diasumsikan kepada peserta didik adalah benar dan pilihannya terdiri dari:
(1) satu kesimpulan yang benar dan logis, (2) dua atau lebih kesimpulan yang
benar dan logis, peserta didik dapat membandingkan kesimpulan yang sesuai
dengan pernyataan yang disajikan atau kesimpulan yang harus diikuti.
f.
Menentukan
kesimpulan
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah pernyataan
yang diasumsikan kepada peserta didik adalah benar dan satu kemungkinan
kesimpulan, peserta didik dapat menentukan kesimpulan yang ada itu benar atau tidak,
dan memberikan alasannya.
g.
Mempertimbangkan
kemampuan induksi
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah
pernyataan, informasi/data, dan beberapa kemungkinan kesimpulan, peserta didik
dapat menentukan sebuah kesimpulan yang tepat dan memberikan alasannya.
h.
Menilai
Contoh indikatornya: Disajikan deskripsi sebuah
situasi, pernyataan masalah, dan kemungkinan penyelesaian masalahnya, peserta
didik dapat menentukan: (1) solusi yang positif dan negatif, (2) solusi mana
yang paling tepat untuk memecahkan masalah yang disajikan, dan dapat memberikan
alasannya.
i.
Mendefinisikan
Konsep
Contoh indikator soal: Disajikan pernyataan
situasi dan argumentasi/naskah, peserta didik dapat mendefinisikan konsep yang
dinyatakan.
j.
Mendefinisikan
asumsi
Contoh indikator soal Disajikan sebuah
argumentasi, beberapa pilihan yang implisit di dalam asumsi, peserta didik
dapat menentukan sebuah pilihan yang tepat sesuai dengan asumsi.
k.
Mendeskripsikan
Contoh indikator soal: Disajikan sebuah teks
persuasif, percakapan, iklan, segmen dari video klip, peserta didik dapat
mendeskripsikan pernyataan yang dihilangkan (Dadan Rosana, 2014: 394-400).
E. Contoh
Soal Kemampuan Berpikir Kritis, Berpikit Kreatif dan HOTS sebagai Transfer Ilmu
Pengetahuan berdasarkan Taksonomi Bloom
1. Contoh Soal Kemampuan Berpikir Kritis dan Berpikit
Kreatif
Kemampuan berpikir
kritis
|
Kemampuan berpikir
kreatif
|
Membuat kesimpulan
secara induktif
Contoh soal:
Terdapat sebuah pipa mendatar dengan luas
penampang yang berbeda yaitu 8 cm2dan 2 cm2 dilengkapi
dengan pipa tegak ke atas seperti gambar berikut.
Jika pipa tersebut dialiri air dengan kecepatan 0,1 m/s masuk pada pipa
yang besar. Maka, apakah ketinggian air antara pipa kanan dan kiri sama
seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas? Jika berbeda berapa selisih
ketinggian air antara kedua kaki tersebut?
|
Keluwesan
Contoh soal:
Pada tahun 2006 gunung merapi meletus dan mengeluarkan lahar dingin
dengan kecepatan aliran 8 m/s pada suatu titik yang diketahui mempunyai
tinggi aliran 5 meter dan lebar 15 m.
Erupsi tersebut terjadi selama 4 jam dan lahar dingin sampai ke sungai
sehingga merusak desa-desa di sekitar sungai. Dengan melihat data pada
kejadian tersebut, pemerintah berencana membuat bendungan penahan lahar (sabo
dam) sebanyak 244 buah dengan kapasitas per sabo dam 3.104 m3. Apakah sabo dam yang dibangun pemerintah
cukup untuk menampung keseluruhan lahar dingin yang dimuntahkan oleh gunung
merapi?
|
2.
Contoh Soal
untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi sebagai Transfer Ilmu Pengetahuan
Materi
|
Aspek
|
Sub Aspek
|
Indikator
|
No Butir Soal
|
Impus dan Momentum
|
Men
Cipta
|
Menghasilkan
|
Menghasilkan karya alat sederhana (restitusi meter) yang merupakan
penerapan tumbukan lenting sebagian
|
1
|
Buatlah alat sederhana
untuk mengukur koefisien restitusi bola pingpong dengan bahan: (1) pipa kaca 1
meter berlubang-lubang, (2) skala, dan (3) penahan bola.
Langkah-langkah yang mungkin adalah:R
1)
Rangkai alat
seperti gambar
2)
Tarik penahan
bola agar bola jatuh
3)
....
4)
Ulangi
beberapa kali dengan memindahkan penahan bola pada
lubang di bawahnya
lubang di bawahnya
5)
.....
Langkah ke-5 yang sesuai adalah ...
a. Lakukan dengan membuat grafik tinggi pantulan (h2)
sebagai fungsi tinggi mula-mula (h1) maka gradien garis merupakan
kuadrat koefisien restitusi
b. Lakukan dengan menghitung rata-rata tinggi
pantulan, kemudian tarik akar dari hasil bagi ratarata tinggi pantulan dengan 1
m nilai ini adalah koefisien restitusi
c. Lakukan dengan membagi setiap tinggi pantulan
dengan tinggi mula-mula, kemudian tarik akar dari hasil bagi tinggi pantulan
dengan tinggi mula-mula, kemudian ambil nilai rata-rata yang merupakan
koefisien restitusinya
d. Lakukan pengukuran sekali saja tinggi pantulannya,
kemudian bagilah tinggi pantulan dengan 1 m hasilnya ditarik akar. Hasilnya
merupakan koefisien restitusi
e. Lakukan dengan membuat grafik tinggi pantulan (h2)
sebagai fungsi tinggi mula-mula (h1) maka slope garis merupakan
koefisien restitusi
Alasan
a.
Perbandingan
tinggi pantulan dan tinggi mula-mula merupakan akar koefisien restitusi
b.
Gunakan
analisis grafis antara tinggi pantulan dan tinggi mula-mula, selanjutnya
koefisien restitusinya sama dengan akar gradien garis
c.
Pengukuran
tinggi mula-mula dan tinggi pantulan diulang-ulang untuk menentukan rata-rata
koefisien restitusinya
d.
Baik
pengukuran tinggi mula-mula maupun tinggi pantulan cukup sekali saja
e.
Gunakan
analisis grafis antara tinggi pantulan dan tinggi mula-mula, selanjunya
koefisien
restitusinya sama dengan gradien garis
restitusinya sama dengan gradien garis
Jawaban
|
Skor
|
Soal : B
Langkah membuat alat sederhana
untuk untuk mengukur koefisien restitusi bola pimpong:
1)
Rangkai alat seperti digambar
2)
Tarik penahan bola agar bola jatuh
3)
Amati tinggi pantulan bola h2
4)
Ulangi beberapa kali dengan memindahkan penahan bola pada lubang
dibawahnya
5)
Lakukan dengan membuat grafik h2 sebagai fungsi h1 maka gradien garis
merupakan kuadrat koefesien restitusi
Alasan: B
Gunakan analisis grafis antara tinggi pantulan dan tinggi mula-mula, selanjutnya koefesien restitusinya sama dengan akar gradien garis |
4
|
Soal : B, C, D, E
Alasan : B
|
3
|
Soal : A
Alasan : A, C, D, E
|
2
|
Soal : B, C, D, E
Alasan : A, C, D, E
|
1
|
Daftar Pustaka
Anderson, L.W.
& Krathwohl, D.R. (Eds). (2010). Kerangka
landasan untuk pembelajaran, pengajaran, dan asesmen: revisi taksonomi
pendidikan Bloom.(Terjemahan Agung Prihantoro). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. (Buku asli diterbitkan tahun 2001).
Brookhart, S. M.
(2010). How to Assess Higher Order Thinking Skillss in Your Class-room. Alexandria:
ASCD.
Cottrell, S. (2005). Critical Thinking Skills, Developing Effective analysis and Argument.
New York: Palgrave Macmillan.
Dadan Rosana. 2014. Evaluasi Pembelajaran Sains (Asesmen Pendekatan Saintifik
Pembelajaran Terpadu). Yogyakarta: UNY Press.
Edi Istiyono,
Djemari Mardapi & Suparno. (2014). Pengembangan
Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika (PhysTHOTS) Peserta Didik SMA.
Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Vol. 14, No.1, p: 1-12.
Elaine B. Johnson. (2014). Contextual Teaching & Learning. Bandung: Kaifa.
Heong, Y.M, et al. (2011). The level of Marzano higher order thinking skillss among technical
education students. International Journal of Social Science and humanity.
Vol 1, No. 2. pp 121-125.
H. K. Syafa’ah, L. Handayani. (2015). Pengembangan Metacognitive Self–Assessment Untuk
Mengukur Keterampilan Berpikir Evaluasi Dalam Membaca Teks Sains Berbahasa
Inggris . Unnes Physics Education Journal,
Vol. 4, No. 1, p: 43-48.
Limbach, B & Waugh, W. (2010). Developing Higher
Level Thinking. Journal of Instructonal
Pedagogies. p: 1-9.
McNeill, M., Gosper, M., &
Xu, J. (2012). Assessment choices to target higher order learning outcomes: the
power of academic empowerment. Research
in Learning Technology, Vol.20.
Mundilarto. (2010). Penilaian Hasil Belajar Fisika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan
Instruksional Sains.
Narayanan, S.,
& Adithan, M. (2015). Analysis Of Question Papers In Engineering Courses
With Respect To Hots (Higher Order Thinking Skills).American Journal of
Engineering Education (AJEE), Vol. 6, No. 1, p:1-10.
Nitko, A.J. & Brookhart, S.M. (2011). Educational Assessment of Student (6th
ed). Boston: Pearson Education.
Ramos J.L.S., Dolipas, B.B., Villamor, B.B. (2013). Higher Order Thinking Skillss and Academic Performance in
Physics of College Students: A Regression Analysis. International Journal of Innovative
Interdisciplinary Research, Issue 4, p: 48-60.
Schraw, Gregory et
al. (2011). Assessment
Of Higer Order Thinking Skillss. America: Information Age Publishing.
Sulaiman, T., Ayub, A. F. M., & Sulaiman, S. (2015).
Curriculum Change in English Language Curriculum Advocates Higher Order
Thinking Skills and Standards-Based Assessments in Malaysian Primary Schools. Mediterranean Journal of Social
Sciences, Vol. 6, No. 2, p: 494-500.
Utami Munandar. (2002). Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
William, J.D. (2011). How science works: Teaching and learning in the science classroom.
Chennai: Continuum.