PENYUSUNAN
PERANGKAT TES DAN PELAKSANAAN TES
A. Teknik
Penyusunan Perangkat Tes
Tes adalah cara (yang dapat dipergunakan)
atau prosedur yang (yang perlu di tempuh) dalam rangka pengukuran dan penilaian
di bidang pendidikan. Menurut BSNP ada hal yang perlu
diperhatikan dalam penilaian hasil belajar peserta didik antara lain:
1.
Penilaian ditujukan untuk
mengukur pencapaian kompetensi
2.
Penilaian menggunakan acuan
kriteria yakni berdasarkan pencapaian kompetensi peserta didik setelah
mengikuti proses pembelajaran
3.
Bentuk soal yang dikeluarkan
dalam tes hasil belajar harus dibuat bervariasi
4.
Penilaian dilakukan secara
menyeluruh dan berkelanjutan
5.
Hasil penilaian ditindaklanjuti
dengan program remedial bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya di
bawah kriteria ketuntasan dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah
memenuhi kriteria ketuntasan.
6.
Penilaian harus sesuai dengan
kegiatan pembelajaran
Menurut Suharsimi (2003) tes yang baik harus mempunyai syarat-syarat
sebagai berikut: 1) Harus efisien (Parsimony) 2) Harus baku (Standardize)
3) Mempunyai norma 4) Objektif 5) Valid (Sahih) 6) Reliabel (Andal ). Pedoman
yang dikeluarkan BSNP (2007) tedapat 10 syarat yaitu: (1) Sahih (valid), (2)
objektif, (3) Adil, (4) terpadu), (5) terbuka, (6) menyeluruh dan
berkesinambungan, (7) sistematis, (8) menggunakan acuan kriteria, (9)
akuntabel, dan (10) reliabel.
Tes
dibuat dengan langkah-langkah berikut, yaitu: menentukan tujuan tes/soal, penentuan
jenis dan bentuk soal, menyusun kisi-kisi, penulisan butir soal, pemantapan
butir atau validasi soal dan kunci jawaban dan merakit soal menjadi perangkat
tes. Bentuk-Bentuk Tes Hasil Belajar
dan Teknik Penyusunannya, yaitu:
a. Tes hasil belajar bentuk uraian
Tes
uraian adalah butiran soal yang mengandung pertanyaan atau tugas yang jawaban
atau pengerjaan soal tersebut harus dilakukan dengan cara mengekspresikan
pikiran peserta tes secara naratif. Ciri khas tes uraian ialah jawaban terhadap
soal tersebut tidak disediakan oleh orang yang mengkontruksi butir soal, tetapi
disusun oleh peserta tes. Karakteristiknya sebagai berikut
1.
tes tersebut berbentuk
pertanyaan atau perintah yang menghendaki jawaban berupa uraian atau paparan
kalimat yang pada umumnya cukup panjang.
2.
bentuk-bentuk pertanyaan atau
perintah itu menuntut kepada peserta tes untuk memberikan penjelasan, komentar,
penafsiran, membandingkan, membedakan dan sebagainya.
3.
jumlah butir soalnya umumnya
terbatas, yaitu berkisar antara lima sampai dengan sepuluh butir.
4.
pada umumnya butir-butir soal
tes uraian itu diawali dengankata-kata: "Jelaskan......",
"Terangkan......", "Uraikan ......", "Mengapa
......", "Bagaimana ......" atau kata-kata lain yang serupa
dengan itu.
Tes uraian dibagi menjadi
dua golongan yaitu tes uraian bebas (extended response) dan tes uraian
terbatas (restricted response). Pembedaan kedua tipe tes uraian ini
adalah atas dasar besarnya kebebasan yang yang diberikan kepada peserta tes
untuk mengorganisasikan, menulis dan menyatakan pikiran, tingkat pemahaman
terhadap pokok permasalahan dan gagasannya.
Kelebihan tes berbentuk
uraian: 1) tes uraian dapat dengan baik mengukur hasil belajar yang kompleks,
2) tes bentuk uraian terutama menekankan kepada pengukuran kemampuan
mengintegrasikan berbagi buah pikiran dan sumber informasi kedalam suatu pola
berpikir tertentu, yang disertai dengan keterampilan pemecahan masalah, 3) bentuk
tes uraian lebih meningkatkan motivasi peserta didik untuk melahirkan kepribadiannya
dan watak sendiri, 4) kelebihan lain tes uraian ialah memudahkan guru untuk
menyusun butir soal, 5) tes uraian sangat menekankan kemampuan menulis. kelemahan
tes uraian: 1) tes uraian pada umumnya kurang dapat menampung atau mencakup dan
mewakili isi dan luasnya materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan
kepada testee, yang seharusnya diujikan dalam tes hasil belajar, 2) cara
mengoreksi jawaban soal tes uraian cukup sulit, 3) dalam pemberian skor hasil
tes uraian, terdapat kecenderungan bahwa pemberi tes (guru) lebih banyak
bersifat subyektif, 4) pekerjaan koreksi terhadap lembar-lembar jawaban hasil
tes uraian sulit untuk diserahkan kepada orang lain, 5) daya ketepatan mengukur
(validitas) dan daya keajegan mengukur (reliabilitas) yang dimiliki oleh tes
uraian pada umumnya rendah sehingga kurang dapat diandalkan sebagai alat
pengukur hasil belajar yang baik.
Petunjuk operasional yang
dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan butir soal tes uraian:
1. Diusahakan bentuk soal dapat mencakup ide-ide pokok dari materi yang
telah diajarkan
2. Untuk menghindari kecurangan peserta didik, kalimat dalam soal tes
sebisa mungkin berbeda dengan susunan kalimat yang terdapat pada buku.
3. Setelah soal selesai dibuat, segera membuat jawaban yang dikehendaki
oleh pemberi tes.
4. Pertanyaan dan perintah yang dibuat harus bervariasi
5. Kalimat soal harus secara ringkas, padat, dan jelas
6.
Kemukakan pedoman tentang cara mengerjakan
atau menjawab buitr soal tersebut
Sebaiknya tes uraian
digunakan apabila :
1. Jumlah siswa atau peserta tes relatif sedikit.
2. Waktu yang dipunyai guru untuk mempersiapkan soal relatif singkat
dan terbatas.
3. Tujuan instruksional yang ingin dicapai adalah kemampuan
mengekspresikan pikiran dalam bentuk tertulis, menguji kemampuan dengan baik,
atau penggunaan kemampuan penggunaan bahasa secara tertib.
4. Guru ingin memperoleh informasi yang tidak tertulis secara langsung
di dalam soal ujian tetapi dapat disimpulkan dari tulisan peserta tes, seperti
: sikap, nilai, atau pendapat. Soal uraian dapat digunakan untuk memperoleh
informasi langsung tersebut, tetapi harus digunakan dengan sangat hati-hati
oleh guru.
5.
Guru ingin memperoleh hasil
pengalaman belajar siswanya.
Langkah-langkah
penyusunan tes uraian dengan memenuhi kriteria dan prinsip pengukuran
1. Penentuan tujuan tes, Tujuan tes perlu dinyatakan secara eksplisit
dan jelas, agar tes benar-benar mengukur apa yang hendak diukur.
2. Penyusunan kisi-kisi tes, Menurut Balitbang Depdikbud dikutip Suyata
(1997:21) kisi-kisi yang baik harus memenuhi kriteria diantaranya (1) dapat
mewakili isi kurikulum secara
tepat, (2) komponen-komponen jelas dan mudah dipahami, (3) dapat dilaksanakan
atau disusun soalnya.Secara umum komponen-komponen yang
biasa dimuat dalam penyusunan kisi-kisi tes prestasi belajar adalah sebagai
berikut: (1) jenis sekolah/jenjang sekolah, (2) tingkat sekolah, (3) bidang
Studi / mata pelajaran, (4) tahun pelajaran, (5) kurikulum yang diacu/ dipergunakan,
(6) jumlah soal, (7) bentuk soal, (8) standar kompetensi , (9) kompetensi
dasar, (10) materi yang akan diujikan/dijadikan soal, (11) indikator, (12)
nomor urut soal (jika diperlukan).
3. Penulisan butir soal, Pusat Penelitian Sistem Pengujian dikutip Suyata
(1997:22) menambahkan perlunya rumusan soal tes uraian yang menggunakan kata
tanya atau perintah yang menuntut jawaban uraian, seperti mengapa, jelaskan,
uraikan, tafsirkan, dan sebagainya, serta rumusan soal tes uraian perlu
menggunakan bahasa yang sederhana dan sesuai kaidah bahasa yang berlaku.
4.
Penelaahan soal tes uraian,
Tujuan kegiatan adalah untuk melihat dan mengkaji setiap butir soal agar
menghasilkan soal dengan kualitas yang baik. Penelaahan butir soal dilakukan
dengan cara menyesuaikan butir soal dengan kisi-kisi tes, kurikulum, atau buku
sumber. Langkah ini juga dimaksudkan untuk menjaga validitas isi tes.
Penskoran
tes uraian, Djiwandono (2008: 59) menjelaskan bahwasanya penskoran tes
subyektif dalam bentuk esei tidak dilakukan dengan menggunakan kunci jawaban
seperti pada penskoran tes obyektif, melainkan dengan menggunakan rambu-rambu
penskoran (scoring guide), yang memuat pedoman, kadang-kadang sekadar
kriteria, yang menyebutkan jawaban yang diharapkan dalam hal relevansi isi,
susunan, bahasa yang digunakan termasuk ejaan, bahkan panjang dan pendeknya
jawaban, dan lain-lain.
Kriteria
penskoran tes esai secara analitik: 1) relevansi isi dan jawaban peserta tes
dengan jawaban yang diharapkan, 2) kecukupan isi jawaban peserta tes tentang masalah
yang ditanyakan, 3) kerapian dan kejelasan penyusunan isi jawaban peserta tes,
4) lain-lain yang perlu dan relevan dengan bidang kajian dan titik berat
sasaran tes (dengan uraian dan rinciannya), misalnya penggunaan bahasa yang
lugas dan mudah dimengerti.
Djiwandono
(2008: 6) menjelaskan dengan memberikan contoh rincian kriteria dengan
tingkatan ketercapaian kriteria dan alokasi skor pada tes esei. Seandaianya
semua kriteria itu diperlakukan sama berat tanpa pembobotan, dan dengan contoh
rentangan skor 4, 3, 2, 1 yang menunjukkan tingkat ketercapaian kriteria yang
menggambarkan tingkat mutu esei. Jika penskoran dilakukan tanpa pembobotan
dalam arti bahwa semua kriteria dianggap sama berat dan dialokasikan rentangan
skor yang sama, maka skor jawaban esei seorang peserta tes diperoleh dengan
menjumlahkan skor-skor yang diperolehnya. Jika penskoran dilakukan dengan
pembobotan, maka bobot masing-masing kriteria perlu ditentukan berdasarkan
pentingnya berbagai komponen kemampuan dalam melakukan pekerjaan yang
ditugaskan.
Suyata
(1997:23) menguraikan beberapa cara yang dapat dilakukan berkaitan dengan
kegiatan penskoran tersebut:
1.
Model jawaban, buat contoh
jawaban yang benar dari tiap soal sebagai model
2.
Penskoran keseluruhan dan
bagian demi bagian, penskoran keseluruhan adalah cara penskoran yang tidak
dibagi-bagi atas elemen-elemen. Penskoran bagian demi bagian lebih dianjurkan,
buar daftar poin-poin penting dalam tiap jawaban
3.
Satu butir untuk seluruh
peserta, Jawaban hendaknya dibaca tiap butir untuk seluruh peserta tes, agar
reliabilitas skor dapat dipertahankan.
4. Buat poin penting untuk setiap jawaban soal, Agar penskoran dapat
dilakukan dengan lebih obyektif, untuk setiap soal perlu dibuat daftar
poin-poin penting yang perlu ada.
b. Tes hasil belajar bentuk objektif
Tes
objektif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif.
Hal ini memang dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari tes bentuk
esai (uraian).
Kelebihan
tes objektif yaitu mengandung lebih banyak segi-segi yang positif, misalnya
lebih representatif mewakili isi dan luas bahan, lebih objektif, dapat
dihindari campur tangannya unsur-unsur subjektif baik dari segi siswa maupun
segi guru yang memeriksa, lebih mudah dan cepat cara memeriksa, pemeriksaan
dapat diserahkan kepada orang lain, dan dalam pemeriksaan tidak ada unsur
subjektif yang mempengaruhi. Kelemahan tes objektif persiapan untuk menyusun
jauh lebih sulit daripada tes esai, soal cenderung untuk mengungkapkan ingatan
dan daya pengenalan kembali saja, banyak kesempatan untuk menebak jawaban,
kesempatan “kerja sama” antarsiswa pada waktu mengerjakan lebih terbuka.
Macam-macam
tes objektif sebagai berikut ini.
1. Tes
Benar salah (true-false)
Petunjuk penyusunan: a) tulislah huruf b-s pada
permulaan masing-masing item dengan maksud untuk mempermudah mengerjakan dan
menilai (scoring), b) usahakan agar jumlah butir soal yang harus dijawab b sama
dengan butir soal yang harus dijawab s. dalam hal ini hendaknya pola jawaban
tidak bersifat teratur misalnya: b-s-b. s-b-s atau ss-bb-ss-bb-ss. c) hindari
item yang masih bisa diperdebatkan: contoh: b-s. kekayaan lebih penting
daripada kepandaian, d) hindarilah pertanyaan-pertanyaan yang persis dengan
buku. e) hindarilah kata-kata yang menunjukkan kecenderungan memberi saran seperti
yang dikehendaki oleh item yang bersangkutan, misalnya: semuanya, tidak selalu,
tidak pernah, dan sebagainya.
2. Tes pilihan ganda (multiple
choice test)
Multiple choice test terdiri atas bagian keterangan (stem) dan bagian kemungkinan
jawaban atau alternatif (options). Kemungkinan jawaban (option)
terdiri atas satu jawaban yang benar yaitu kunci jawaban dan beberapa pengecoh
(distractor). Pada dasarnya, soal bentuk pilihan ganda ini adalah soal
bentuk benar-salah juga, tetapi dalam bentuk jamak. Peserta tes diminta membenarkan atau menyalahkan setiap stem
dengan tiap pilihan jawaban. Kemungkinan jawaban itu biasanya sebanyak tiga
atau empat buah,
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam tes pilihan
ganda
a. Soal harus sesuai indicator
b. Pengecoh harus berfungsi
c. Setiap soal harus mempunyai satu jawaban
yang benar
d. Tabel, gambar, grafik, peta atau yang
sejenisnya disajikan dengan jelas dan terbaca.
e. Pokok soal harus dirumuskan secara jelas
dan tegas
f. Rumusan pokok soal dan pilihan jawaban
harus merupakan pernyataan yang diperlukan saja.
g. Pokok soal jangan memberi petunjuk ke arah
jawaban yang benar
h. Pokok soal jangan mengandung pernyataan
yang bersifat negatif ganda
i. Pilihan jawaban harus homogen dan logis
ditinjau dari segi materi.
j. Panjang rumus harus relatif sama
k. Pilihan jawaban jangan mengandung pernyataan “semua pilihan jawaban
di atas salah atau benar”.
l. Pilihan jawaban berbentuk angka atau waktu harus disusun berdasarkan
urutan besar kecilnya nilai angka atau kronologis waktunya.
m. Setiap soal harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah
bahasa Indonesia
n.
Memperhatikan penyebaran kunci
jawaban
3. Menjodohkan (matching test)
Matching test dapat kita
ganti dengan istilah mempertandingkan, mencocokkan, memasangkan, atau
menjodohkan. Matching test terdiri atas satu seri pertanyaan dan satu seri
jawaban. Petunjuk-petunjuk yang perlu diperhatikan dalam menyusun tes bentuk
matching ialah: a) seri
pertanyaan-pertanyaan dalam matching test hendaknya tidak lebih dari sepuluh
soal(item), b) jumlah jawaban yang harus dipilih, harus lebih banyak daripada
jumlah soalnya (lebih kurang 1 1/2 kali), c) antara item-item yang tergabung
dalam satu seri matching test harus merupakan pengertian-pengertian yang
benar-benar homogen.
4. Tes isian (completion test)
Completion test terdiri atas
kalimat-kalimat yang ada bagian-bagiannya yang dihilangkan. Petunjuk
penyusunan: a) perlu selalu diingat bahwa kita tidak dapat merencanakan lebih
dari satu jawaban yang kelihatan logis, b) jangan mengutip kalimat/pernyataan
yang tertera pada buku/ catatan, c) diusahakan semua tempat kosong hendaknya
sama panjang, d) diusahakan hendaknya setiap pernyataan jangan mempunyai lebih
dari satu tempat kosong, e) jangan mulai dengan tempat kosong. Matondang (2009)
menyatakan kelemahan tes esai adalah memerlukan banyak waktu dalam penilaian
dan sampling yang diukur terbatas.
Tes objektif,
sebaiknya digunakan dalam situsasi sebagai berikut:
1. Kelompok yang akan dites banyak dan tesnya akan digunakan lagi
berkali-kali.
2. Skor yang diperoleh diperkirakan akan dapat dipercaya (mempunyai
reliabilitas yang tinggi).
3. Guru lebih mampu menyusun tes bentuk objektif daripada tes bentuk
esai (uraian).
4.
Hanya mempunyai waktu sedikit
untuk koreksi dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk menyusun tes. Pada
umumnya, guru seyogianya menggunakan dua macam bentuk tes, yaitu 3 bagian untuk
tes objektif, dan 1 bagian untuk tes uraian.
Petunjuk Operasional
Penyusunan Tes Obyektif:
1.
Pembuat soal tes (dalam hal ini
guru, dosen dan lain-lain) harus membiasakan diri dan sering berlatih
2.
Setiap kali alat pengukur hasil
belajar berupa tes obyektif itu selesai dipergunakan, hendaknya dilakukan
penganalisisan item
3.
Perlu disiapkan terlebih dahulu
suatu norma yang memperhitungkan faktor tebakan.
4.
Hendaknya dibuat tabel
spesifikasi soal yang sering dikenal dengan istilah kisi-kisi soal atau blue
print.
5.
Dalam menyusun kalimat soal-soal
obyektif, bahasa atau istilah yang dipergunakan hendaknya cukup sederhana,
ringkas, jelas dan mudah dipahami oleh peserta tes.
6.
Tidak ada butir-butir yang dapat
menghasilkan penafsiran ganda atau kerancuan dalam pemberian jawabannya
7. Cara memenggal atau memutus kalimat, membubuhkan tanda-tanda baca
seperti titik, koma dan sebagainya, penulisan tanda-tanda aljabar seperti
kuadrat, akar dan sebagainya, hendaknya ditulis secara benar, usahakan agar
tidak terjadi kesalahan ketik atau kesalahan cetak, sehingga tidak mengganggu
konsentrasi peserta tes
8.
Diberikan pedoman atau
petunjuknya secara jelas dan tegas.
Pembuatan tabel spesifikasi soal sebagai salah satu
upaya dalam mengatasi kelemahan tes obyektif. Tabel spesifikasi yang juga
dikenal dengan istilah kisi-kisi soal adalah sebuah tabel analisis yang di
dalamnya dimuat rincian materi tes dan tingkah laku beserta proporsi yang
dikehendaki oleh pemberi tes (guru), di mana pada tiap petak (sel) dari tabel
tersebut diisi dengan angka-angka yang menunjukkan banyaknya butir soal yang
akan dikeluarkan dalam tes hasil belajar bentuk obyektif. Tabel spesifikasi
diantaranya terdiri dari: bagian-bagian dari materi pelajaran yang akan diukur
(diteskan), taraf kompetensi yang akan diungkap, banyaknya butir soal untuk
masing-masing bagian dan keseluruhan tes, dan taraf kesukaran masing-masing
soal dan sebagainya.
B. Teknik
Pelaksanaan Tes Hasil Belajar
Ada beberapa faktor yang
berhubungan dengan pelaksanaan tes di sekolah, antara lain: 1) faktor fisik ; faktor fisik meliputi
hal-hal yang berhubungan dengan fisik murid dan pengawas, sedangkan faktor
lingkungan, 2) disiplin dan pengawasan;
disiplin dan pengawasan berhubungan dengan peraturan-peraturan/tata tertib yang
ditetapkan berhubungan dalam pelaksanaan tes (Matondang, Z., 2009).
Dalam
praktek, pelaksanaan tes hasil belajar dapat diselenggarakan secara tertulis
(tes tertulis), dengan secara lisan (tes lisan) dan dengan tes perbuatan.
1. Teknik
Pelaksanaan Tes Tertulis
Beberapa
hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu :
a. tempat berlangsungnya tes dipilihkan yang jauh dari keramaian,
kebisingan, suara hiruk pikuk dan lalu lalangnya orang,
b. ruangan tes harus cukup longgar, tidak berdesak-desakan, tempat
duduk diatur dengan jarak tertentu,
c. ruangan tes sebaiknya memiliki system pencahayaan dan pertukaran
udara yang baik.
d. tersedia meja tulis atau kursi yang memiliki alas tempat penulis,
e. agar peserta tes dapat memulai mengerjakan soal tes secara
bersamaan, hendaknya lembar soal-soal tes diletakkan secara terbalik.
f. dalam mengawasi jalannya tes, pengawas hendaknya berlaku wajar.
g. sudah ditentukan lebih dahulu sanksi yang dapat dikenakan kepada
peserta tes yang berbuat curang
h. sebagai bukti mengikuti tes, harus disiapkan daftar hadir yang harus
ditandatangani oleh seluruh peserta tes.
i.
jika waktu yang ditentukan
telah habis, hendaknya peserta tes diminta untuk menghentikan pekerjaannya dan
secepatnya meninggalkan ruangan tes.
j.
untuk mencegah timbulnya
berbagai kesulitan di kemudian hari, pada Berita Acara Pelaksanaan Tes harus
dituliskan secara lengkap
2. Teknik
Pelaksanaan Tes Lisan
Beberapa
petunjuk praktis yang dapat dipergunakan sebagai pegangan dalam pelaksanaan tes
lisan, yaitu:
a. pemberi tes (guru) sudah melakukan inventarisasi berbagai jenis soal
yang akan diajukan kepada peserta tes
b. setiap butir soal yang telah ditetapkan untuk diajukan dalam tes
lisan itu, juga harus disiapkan sekaligus pedoman atau ancar-ancar jawaban
betulnya
c. jangan sekali-kali menentukan skor atau nilai hasil tes lisan
setelah seluruh peserta tes menjalani tes lisan
d. tes hasil belajar yang dilaksanakan secara lisan hendaknya jangan
sampai menyimpang atau berubah arah dari evaluasi menjadi diskusi.
e. menegakkan prinsip obyektivitas dan prinsip keadilan, dalam tes yang
dilaksanakan secara lisan itu (simpati atau member kode tertentu)
f. tes lisan harus berlangsung secara wajar.
g. pemberi tes (guru) mempunyai pedoman atau ancar-ancar yang pasti.
h. pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes lisan hendaknya dibuat
bervariasi.
i.
sejauh mungkin dapat diusahakan
agar tes lisan itu berlangsung secara individual (satu demi satu).
3. Teknik
Pelaksanaan Tes Perbuatan
Tes
perbuatan pada umumnya digunakan untuk mengukur taraf kompetensi yang bersifat
keterampilan (psiko-motorik), di mana penilaiannya dilakukan terhadap proses
penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai oleh peserta tes setelah
melaksanakan tugas tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemberi
tes (guru):
a. pemberi tes (guru) harus mengamati dengan secara teliti, cara yang
ditempuh oleh peserta tes dalam menyelesaikan tugas
b. untuk mencapai obyektivitas setinggi mungkin, pemberi tes (guru)
jangan berbicara atau berbuat sesuatu yang dapat mempengaruhi peserta tes
c.
pemberi tes (guru) hendaknya
menyiapkan instrumen berupa lembar penilaian yang di dalamnya telah ditentukan
hal apa sajakah yang harus diamati dan diberikan penilaian.
Manfaat
yang dapat diperoleh melalui tes, pengukuran dan penilaian antara lain
sebagaimana diuraikan berikut ini.
1.
Seleksi, untuk menentukan naik tidaknya atau
lulus tidaknya seorang siswa
2.
Penempatan, tes untuk keperluan ini terutama
didasarkan pada informasi tentang apa yang telah dan apa yang belum dikuasai
oleh seseorang
3.
Diagnosis dan remedial, untuk mengetahui perlu
tidaknya suatu pelajaran diulang kembali atau tidak
4. Umpan balik, hasil suatu pengukuran yang berupa skor tes dapat digunakan untuk
keperluan umpan balik baik untuk individu maupun untuk keperluan pengajar
5.
Memotivasi dan membimbing belajar, hasil tes
seyogyanya dapat memotivasi untuk lebih berprestasi, dan dapat menjadi
pembimbing untuk belajar. Tes yang dimaksud adalah tes formatif.
6.
Perbaikan kurikulum dan program pendidikan, didasarkan
pada hasil penilaian pendidikan yang tepat pula, sehingga hal itu tidak sia-sia
belaka.
7.
Pengembangan ilmu, hasil tes, pengukuran dan
penilaian yang tepat sudah jelas akan dapat memberikan konstribusi bagi
pengembangan teori dasar pendidikan.
8.
Memberikan laporan kepada orang tua, dengan
tujuan agar diperoleh gambaran oyektif tentang perkembangan anaknya, untuk
kemudian menyikapinya. Tes yang dimaksud adalah tes sumatif.
Kegiatan
tes, pengukuran dan penilaian berperan sangat besar dalam sistem pendidikan dan
sistem persekolahan, karena pentingnya itu maka setiap tindakan tes, pengukuran
dan penilaian selalu menimbulkan kritik yang tajam dari masyarakat. Kritik
tersebut antara lain:
1. Tes
senantiasa akan mencampuri rahasia pribadi peserta tes, yang dapat berarti
membuka kelemahan dan kekuatan pribadi seseorang.
2. Tes
selalu menimbulkan rasa cemas peserta tes, yang dapat menghambat seseorang
mendemonstrasikan kemampuan terbaiknya.
3. Tes
acapkali justru menghukum peserta didik yang kreatif, karena tes itu selalu
menuntut jawaban yang sudah ditentukan pola dan isinya.
4. Tes
selalu terikat pada kebudayaan tertentu. Karena itu kemampuan peserta tes untuk
memberi jawaban terbaik turut ditentukan oleh kebudayaan penyusun tes.
5. Tes
hanya mengukur hasil belajar yang sederhana dan yang remeh. Hampir tidak pernah
ada tes hasil belajar yang mampu mengungkapkan tingkah laku peserta didik
secara menyeluruh, yang justru menjadi tujuan utama pendidikan formal apapun.
Untuk
itu perlu ditegakan beberapa etika tes, yang membedakan tes yang etik dan
tindakan yang tidak etik dalam pelaksanaan tes secara professional. Praktek tes
hasil belajar yang etik terutama mencangkup empat hal utama :
1. Kerahasiaan Hasil Tes
Hasil
tes hanya dapat disampaikan kepada orang lain bila: a) ada izin dari peserta
didik yang bersangkutan atau orang yang bertanggung jawab terhadap peserta
didik (bagi peserta didik yang belum dewasa), b) ada tanda-tanda yang jelas
terhadap hasil tes tersebut menunjukan gejala yang membahayakan dirinya atau
membahayakan kepentingan orang lain, c) bila penyampaian hasil tes tersebut
kepada orang lain jelas-jelas menguntungkan peserta tes.
2. Keamanan tes
Tes
merupakan alat pengukur yang hanya dapat digunakan secara professional. Dengan
demikian tes tidak dapat digunakan diluar batas-batas yang ditentukan oleh profesionalisme pekerjaan guru.
3. Interpretasi Hasil Tes
Interpretasi
hasil tes harus diikuti tanggung jawab professional. Bila hasil tes
diinterpretasi secara tidak patut, dalam jangka panjang akan dapat membahayakan
kehidupan peserta tes.
4. Penggunaan Tes
Tes hasil belajar haruslah digunakan secara patut. Bila
tes hasil belajar tertentu merupakan tes baku, maka tes tersebut harus
digunakan di bawah ketentuan yang berlaku bagi pelaksanaan tes baku tersebut.
Beberapa
petunjuk praktis yang hendaknya ditaati oleh pendidik dalam tes:
1.
Pelaksaan tes hendaknya diberi
tahu terlebih dahulu kepada peserta tes.
2.
Sebaiknya pendidik menjelaskan
cara menjawab yang dituntut dalam suatu tes.
3.
Sebaiknya pendidik memotivasi
peserta tes mengerjakan tesnya secara baik bukan menakut-nakuti peserta didik.
4.
Bila pendidik menggunakan tes
baku, maka hendaknya pendidik tersebut bertanggung jawab penuh terhadap
keamanan tes tersebut.
5.
Seorang pendidik dapat
menggunakan hasil tes untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan peserta
tes, asalkan hal tersebut tetap menjadi rahasia peserta tes dan pendidik yang
bersangkutan.
6.
Guru hendaknya menghindari diri
dari keterlibatan dalam bimbingan tes yang dapat diperkirakan akan menggangu
proses hasil belajar peserta didik.
7.
Tidak etik bila seorang guru
mengembangkan butir soal atau perangkat soal yang paralel dengan suatu tes baku
dengan maksud untuk digunakan dalam bimbingan tes.
8.
Tidak etik untuk
mendiskriminasikan peserta didik tertentu atau kelompok tertentu yang boleh
mengikuti suatu tes atau melarang mengikuti tes.
9.
Tidak etik untuk memperpanjang
waktu atau menyingkat waktu yang telah ditentukan oleh petunjuk tes.
10. Guru tidak boleh meningkatkan rasa cemas peserta tes dengan
penjelasan yang tidak perlu.
Merakit
soal adalah menyusun soal yang siap pakai menjadi satu perangkat/paket tes atau
beberapa paket tes paralel. Dasar acuan dalam merakit soal adalah tujuan tes
dan kisi-kisinya. Mundilarto (2010) menyatakan empat langkah mengembangkan
kisi-kisi soal tes yaitu menuliskan Kompetensi dasar, daftar materi dan
submateri, menentukan indicator, dan menentukan jenis tagihan, bentuk dan
jumlah soal. Para pendidik dapat merakit soal menjadi suatu paket tes yang
tepat, apabila para pendidik memperhatikan langkah-langkah perakitan soal.
Berikut langkah-langkah perakitan soal.
1.
Mengelompokkan soal-soal yang
mengukur kompetensi dan materi yang sama, kemudian soal-soal itu ditempatkan dalam
urutan yang sama.
2.
Memberi nomor urut soal
didasarkan nomor urut soal dalam kisi-kisi.
3.
Mengecek setiap soal dalam satu
paket tes apakah soal-soalnya sudah bebas dari kaidah “Setiap soal tidak boleh
memberi petunjuk jawaban terhadap soal yang lain”.
4.
Membuat petunjuk umum dan
khusus untuk mengerjakan soal.
5.
Membuat format lembar jawaban.
6.
Membuat lembar kunci jawaban
dan petunjuk penilaiannya.
7.
Menentukan/menghitung
penyebaran kunci jawaban (untuk bentuk pilihan ganda), dengan menggunakan rumus
berikut.
8.
Menentukan soal inti (anchor
items) sebanyak 10 % dari jumlah soal dalam satu paket.
9.
Menentukan besarnya bobot
setiap soal (untuk soal bentuk uraian)
10. Menyusun tabel konversi skor
Skor
dari soal bentuk pilihan ganda tidak dapat langsung digabung dengan skor
uraian. Hal ini karena tingkat keluasan dan kedalaman materi yang ditanyakan
atau penekannya dalam kedua bentuk itu tidak sama. Dalam ilmu pengukuran,
konversi dapat disusun melalui konversi biasa dan konversi yang terkalibrasi
dengan model respon butir.
a. Konversi
biasa (model pengukuran secara klasik)
Penggunaannya biasa
digunakan guru di sekolah, yaitu untuk memperoleh nilai murni peserta didik.
Misalnya biila menghendaki skor maksimum 10 digunakan rumus (skor perolehan:
skor maksimum) x 10. Konversi seperti ini memiliki dua kelemahan, pertama
adalah bahwa setiap butir soal dihitung memiliki tingkat kesukaran yang sama,
kedua adalah bahwa tingkat kesukaran butir soal tidak ditempatkan/dikalibrasi
pada skala yang sama.
Keterbatasan model
pengukuran secara klasik adalah seperti berikut: 1) tingkat kemampuan dalam teori
klasik adalah “true score”, b) tingkat kesukaran soal didefinisikan sebagai
proporsi peserta didik dalam kelompok
yang menjawab benar soal, c) daya pembeda, reliabilitas, dan validitas soal/tes
didefinisikan berdasarkan grup peserta didik.
Konversi nilai berdasarkan teori tes klasik memiliki
kelemahan, yaitu 1) tingkat kesukaran dan daya pembeda tergantung pada sampel;
2) penggunaan metode dan teknik untuk desain dan analisis tes dengan
memperbandingkan kemampuan peserta didik pada pembagian kelompok di atas,
tengah, bawah, 3) konsep reliabilitas tes didefinisikan dari istilah tes
paralel; 4) tidak ada dasar teori untuk menentukan bagaimana peserta didik
memperoleh tes yang sesuai dengan kemampuan peserta didik; 5) standar kesalahan
pengukuran hanya berlaku untuk seluruh peserta didik.
b. Konversi
yang terkalibrasi
Adalah konversi nilai
yang disusun berdasarkan kemampuan peserta didik dari tingkat kesukaran butir
soal yang terkalibrasi dengan model Rasch (Item Response TheoryDalam
konversi yang terkalibrasi skalanya didasarkan dua hal penting, yaitu tingkat
kesukaran dan tingkat kemampuan peserta didik. Soal ditempatkan pada tingkat
kesukaran dan kemampuan peserta didik yang telah disamakan skalanya.
Kelebihan model Rasch
atau teori respon butir secara umum adalah bahwa: 1) model ini tidak
berdasarkan grup dependen, 2) skor peserta didik dideskripsikan bukan tes
dependen, 3) model ini menekankan pada tingkat butir soal bukan tes, 4) model
ini tidak memerlukan paralel tes untuk menentukan reliabilitas tes, 5) model
ini merupakan suatu model yang memberikan suatu pengukuran ketepatan untuk
setiap skor tingkat kemampuan. Kelebihan teori respon butir adalah: 1) responden
dapat diskor pada skala yang sama, 2) skor responden dapat dibandingkan pada
dua atau lebih bentuk tes yang sama, 3) semua bentuk soal memperoleh perlakuan
melalui cara yang sama, 4) tes dapat disusun sesuai keahlian berdasarkan
tingkat kemampuan yang akan dites.
Daftar
Pustaka
Arikunto, Suharsimi (2003). Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
BSNP (2007). Pengembangan Silabus Pembelajaran dalam KTSP.
BSNP. Jakarta
Dadan Rosana (2014). Evaluasi Pembelajaran Sains. Yogyakarta
Matondang, Z. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Medan:
Universitas Negeri Medan
Mundilarto
(2010). Penilaian Hasil Belajar.
Yogyakarta: UNY