ALIRAN - ALIRAN DALAM FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu
merupakan disiplin ilmu yang membahas mengenai berbagai fenomena yang berkaitan
dengan ilmu atau sains. obyek materiil filsafat ilmu merupakan cakupan dengan
semua ilmu, yaitu membahas fakta dan kebenaran disiplin ilmu., serta konfirmasi
logika yang digunakan semua disiplin ilmu. Di samping itu pula, obyek materiil
berbagai ilmu juga menelaah obyek spesifik lain. Obyek formil filsafat ilmu
adalah telaah filsafati tentang konfirmasi dan logika.
Kemampuan dan
keluasan pikir manusia mendorong beberapa filsuf menciptakan aliran-aliran
filsafatnya sendiri. Aliran tersebut diantaranya adalah aliran filsafat rasionalisme, aliran filsafat empirisme, aliran filsafat idealisme, aliran filsafat bahasa,
aliran filsafat phenomenologik dan
aliran filsafat pragmatis (Muhadjir. 2015:4-5).
aliran-aliran dari filsafat yang akan dibahas adalah aliran filsafat
rasionalisme, aliran filsafat empirisme, aliran filsafat idealisme.
A. Aliran Rasionalisme
Rasionalisme
adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan
menguji pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh
dengan cara berpikir, yaitu dengan menggunakan kaidah-kaidah logis atau
kaidah-kaidah logika. Descartes, Spinoza, dan Leibnis adalah tokoh-tokoh besar
dalam aliran rasionalisme.
Rasionalisme
terbagi menjadi dua macam, yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat.
Dalam bidang agama lawan rasionalisma adalah autoritas, sedangkan dalam bidang
filsafat lawan rasionalisme adalah empirisme. Rasionalisme dalam bidang agama
biasanya mengkritik mengenai ajaran agama, rasionalisme dalam nidang filsafat
berguna sebagai teori pengetahuan rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan
bagian penting pengetahuan dating dari penemu akal, seperti pemahanan mengenai
logika matematika.
1. Tokoh-Tokoh Aliran Filsafat
Rasionalisme
Sejarah
rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam
filsafatnya. Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme ialah
Descartes. Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat
Descartes. Corak utama filsafat modern ialah dianutnya kembali rasionalisme
seperti pada masa Yunani Kuno. Gerakan pemikiran Descartes sering disebut
bercorak renaissance.
Descartes
dianggap sebagai bapak filsafat modern, karena dialah orang tang pertama pada
zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri
yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah, orang pertama di akhir Abad
Pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat, yang distinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal,
bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, dan bukan lainnya. Tokoh-tokoh
aliran Filsafat aliran rasionalisme adalah sebagai berikut (Taisir . 1992:5-30)
a. Descartes (1596-1650)
Descartes lahir
pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. Bukunya yang terpenting dalam
filsafat murni adalah Discours de la
Methode (1637) dan Meditations (1642).
Kedua buku ini saling melengkapi satu sama lain. Dalam buku tersebut Descartes
menuangkan metodenya yang terkenal yang disebut dengan metode keraguan
Descartes (Cartesian Doubt) atau
sering disebut dengan Cogito Descartes, atau metode corgito saja.
Ia mengetahui
bahwa tidak mudah untuk meyakinkan tokoh-tokoh gereja bahwa dasar filsafat
haruslah rasio. Tokoh gereja meyakini bahwa dasar filsafat haruslah iman. Untuk
meyakini dasar filsafat haruslah akal, Descartes menyusun argumentasi yang amat
terkenal. Argument itu tersebut dalam metode cogito. Langkah pertama metode cogito
ini adalah Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat
diragukan, mula-mula ia mencoba meragukan semua yang didapat diindera, obyek
yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. Keraguan itu menjadi mungkin karena
pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman dengan roh
halus ada yang sebenarnya itu tidak
jelas. Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan kejadian dengan roh
halus bila dilihat dalam keadaan terjaga itu tidak ada, namun benda-benda
tersebut benar-benar ada bila dilihat dari posisi kita dalam mimpi, halusinasi,
ilusi, dan roh halus. Seperti itulah jalan pikiran dalam metode cogito. Pada tahap kedua Descartes
mengajak untuk berpendapat bahwa gerak, jumlah, dan besaran (volume) inilah
lebih ada dari benda-benda.
Descartes telah
menemukan dasar (basis) bagi filsafatnya, yaitu aku yang berpikir. Pemikiran tersebut layak dijadikan dasar
filsafat karena aku yang berpikir
benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu. Sehingga dapat
dikatahui bahwa sifat subyektif, individualistis, human dalam filsafat
Descartes nantinya akan mendorong perkembangan filsafat pada abad modern.
Dalam waktu yang
relatif singkat banyak pemikir yang muncul bila dibandingkan dengan filosofi
abad pertengahan. Kemenangan akal ini menyebabkan tragedi Yunani terulang
kembali, yaitu kaidah sains menjadi guncang, ajaran iman menjadi goyah, orang
meragukan sains dan agama. Humanism dan rasionalisme yang dikembangkan Descartes
telah menimbulkan subyektivisme dan relativisme.
b. Spinoza (1632-1677)
Spinoza
dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677. Menurut Solomon
cara terbaik mempelajari metafisika modern ialah dengan mempelajari karya-karya
metafisika para filosof. Mempelajarinya jangan terpisah-pisahfilosof dari
metafisika modern adalah Spinoza dan Leibniz. Baik Spinoza dan Leibniz telah
mengikuti pemikiran Descartes dan menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam
metafisika mereka. Descartes, Spinoza, dan Leibniz dikelompokan dalam satu
mazhab, yaitu rasionalisme.
Terdapat
permasalahan metafisika modern yang tertuang dalam beberapa pertanyaan, yaitu
berapa substansi yang ada?, apa itu?, apa beda yang satu dan yang lain?,
bagaimana setiap substansi (atau sesuatu) itu berinteraksi? Bagaimana substansi
muncul?, apakah alam semesta mempunyai permulaan?. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut Spinoz menggunakan deduksi matematis ala Descartes, yaitu
ddimulai dengan meletakkan definisi-definisi, aksioma-aksioma,
proposisi-proposisi, kemudian baru membuat pembuktian (penyimpulan) berdasarkan
definisi, aksioma, atau proposisi.
Spinoza mulai
meletakkan definisi-definisi yang digunakan dalam membuat kesimpulan-kesimpulan
dalam metafisika, yaitu
1) Sesuatu
yang sebabnya pada dirinya, saya
maksudkan esensinya mengandung eksistensi, atau sesuatu yang hanya dapat
dipahami sebagai ada.
2) Sesuatu
dikatakan terbatas bila ia dapat dibatasi oleh sesuatu yang lain; misalnya
tubuh kita terbatas, yang membatasinya adalah besarnya tubuh kita.
3) Substansi
ialah sesuatu yang ada dalam dirinya, dipahami melalui dirinya, konsep dapat
dibentuk tentangnya bebas dari yang lain.
4) Yang
saya maksud dengan atribut (sifat)
ialah apa yang dapat dipahami sebagai melekat pada esensi substansi.
5) Yang
sata maksud dengan mode ialah
perubahan-perubahan pada substansi.
6) Tuhan
yang saya maksud ialah sesuatu yang tak terbatas secara absolute (mutlak).
7) Sesuatu
yang saya sebut bebas ialah sesuatu yang ada sendirian, bukan disebabkan oleh
yang lain, dan tindakannya ditentukan olehnya sendiri.
8) Yang
saya maksud dengan kekekalan (eternity) ialah sifat pada eksistensi itu tadi.
Spinoza
mengemukakan bahwa definisi selalu diikuti oleh aksioma. Aksioma ialah suatu kebenaran yang tidak memerlukan
pembelaan. Aksioma-aksioma yang dipasangkan dalam metafisika sebagai berikut:
1) Segala
sesuatu yang ada, dalam dirinya atau ada dalam sesuatu yang lain.
2) Sesuatu
yang tidak dapat dipahami melalui sesuatu yang lain harus dipahami melalui
dirinya sendiri.
3) Dari
suatu sebab, tentu diikuti akibat; bila tidak ada sebab, tidak mungkin akan ada
akibat yang mengikutinya.
4) Pengetahuan
kita tentang akibat ditentukan oleh pengetahuan kita tentang sebab.
5) Sesuatu
yang tidak biasa dikenal umum tidak akan dapat dipahami; konsep tentang sesuatu
tidak melibatkan konsep tentang yang lain.
6) Idea
yang benar harus sesuai dengan obyeknya.
7) Bila
sesuatu dapat dipahami sebagai tidak ada, maka esensinya tidak ada.
c.
Leibniz
(1646-1716)
Gottfried
Wilhelm von Leibniz lahir di Jerman. Pada usia 15 tahun ia sudah menjadi
mahasiswa di Universitas Leipzig untuk mempelajari hokum, tetapi ia juga
mengikuti kuliah matematika dan filsafat. Tatkala ia belum berumur 21 tahun ia
menerima ijazah doctor dari Universitas Altodorf. Universitasnya sendiri
menolak mengakui gelar doktornya itu karena umurnya terlalu muda.
Metafisika
Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza alam semesta ini
mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sedangkan substansi pada
Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan. Penuntun
prinsip filsafat Leibniz ialah “prinsip akal yang mencukupi”, secara sederhana
dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”
Leibniz
berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah
pencipta monad-monad itu. Karya
Leibniz tentang ini diberi judul Monadology
(studi tentang monad). Berikut singkatan metafisika Leibniz;
1) Monad,
yangn di bicarakan di sini adalah substansi yang sederhana, yang selanjutnya
menyusun substansi yang lebih besar.
2) Harus
ada substansi yang sederhana karena adanya susunan itu, karena susunan tidak
lain daripada suatu koleksi substansi sederhana. Substansi sederhana ialah
substansi terkecil yang tidak dapat dibagi. Leibniz menyatakan bahwa semua
monad itu haruslah immaterial dan tidak mempunyai ukuran, monad tidak mempunyai
bagian-bagian, tidak mempunyai ukuran, tidak dapat dibagi.
3) Apapun
yang tidak mempunyai bagian-bagia tentulah tidak mempunyai ukuran, tidak
berbentuk, tidak dapat dibagi.
4) Kerusakan,
karena itu, tidak akan terjadi pada substansi itu, ya, karena tidak dapat
dibagi, karena immaterial itu.
5) Dengan
cara yang sama tidak ada jalan utnuk memahami simple substance itu dicipta (come into existence) karena monad tidak dapat dibentuk dengan
menyusun.
6) Kita
hanya dapat menyatakan sekaran bahwa monad
itu mulai dan berakhir hanya satu kali. Spinoza menyatakan bahwa satu substansi
tidak akan dapat diciptakan dan tidak dapat dirusak; ia tidak mempunyai
permulaan dan tidak membunyai akhir.
7) Monad
tidak mempunyai kualitas, karenanya mestinya mereka tidak akan pernah ada.
8) Setiap
monad harus dibedakan satu dari yang
lainnya karena tidak pernah ada isi alam yang sama sekalipun kita tidak dapat
mengetahui perbedaan itu. Hanya Tuhan yang mengetahui setiap monad,
itu disebabkan oleh monad-monad itu memang berbada satu dari
yang lainnya.
9) Tidak
ada jalan untuk menjelaskan bagaimana monad-monad itu dapat berubah dalam
dirinya sendiri oleh sesuatu di luarnya karena tidak ada kemungkinan sesuatu
yang masuk ke dalamnya.
Demikian secara
ringkas teori metafisika dari dua metafisikwan terbesar Zaman Modern, tiga bila
ditambah Descartes. Spinoza dan Leibniz memperlihatkan teori yang kabur serta
meragukan. Keduanya memulai dari basis yang sama (dari substansi), metode yang
sama (deduksi), tetapi tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda.
B. Aliran Idealisme
Aliran idealisme
Tokoh aliran idealism adalah Plato (427-374 SM), Ia adalah murid sokrates.
Aliran filsafat merupakan suatu aliran
ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli
yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak diantara gambaran asli
(cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh Panca indra. Karena
pandangannya yang idealis itulah idealism e sering dianggap sebagai lawan dari
aliran realisme.
Aliran filsafat
Plato dapat dilihat sebagai suatu reaksi terhadap kondisi perubahan
terus-menerus yang telah meruntuhkan budaya Athena lama. Ia merumuskan
kebenaran sebagai sesuatu yang sempurna dan abadi (eternal). Dan sudah terukti,
bahwa dunia eksistensi keseharian senantiasa mengalami perubahan. Dengan
demikian kebenaran tidak bisa ditemukan dalam dunia materi yang tidak sempurna
dan berubah. Plato percaya bahwa disana terdapat kebenaran yang universal dan
dapat disetujui oleh semua orang. Contohnya dapat ditemukan pada matematika,
bahwa 6+6= 12 adalah selalu benar
(merupakan kebenaran apriori), contoh tersebut sekarang benar dan bahkan di
waktu yang akan datang pasti akan tetap benar.
1. Tokoh-Tokoh Aliran Idealisme
Idealism dengan
penekananya pada kebenaran yang tidak berubah, berpengaruh pada pemikiran
kefilsafatan. Selain itu, idealism
ditumbuh kembangkan dalam dunia pemikiran modern. Namun pada filsafat modern,
pandangan ini mula-mula kelihatan pada George Berkeley yang menyatakan bahwa hakikat obyek-obyek
fisik adalah idea-idea. Dalam pandangan subyektif , materi adalah sebagaimana
yang dipahami oleh manusia. Menurut pandangan obyektif, materi adalah idea
dalam pikiran Tuhan, bebas dari tangkapan manusia.
Berkeley
mengajukan 3 (tiga) argument: (1)
apa yang diketahui haruslah “ada di dalam pikiran” atau berhubungan dengan
pikiran (mind); (2) kita tidak dapat mengatakan secara positif bahwa materi
yang dipahami berada bebas dari pemahaman; (3) sifat obyek psikis selalu
berekor pada pengalaman dan pikiran. Argument ini menjelaskan bentuk idealisme
Berkeley Adapun tokoh-tokoh Idealisme dengan pemikirannya (Tafsir. 1992: 30-34).
a.
Plato
(477-347 SM)
Plato sering disebut sebagai
seorang idealis sekalipun ide-nya tidak khusus (spesifik) mental, tetapi lebih merupakan obyek universal. Akan
tetapi ia sependapat dengan idealism modern yang mengajarkan bahwa hakikat
penampakan (yang tampak) itu berwatak (khas) spiritual. Plato juga mengeluarkan
pendapat tentang kebaikan yang merupakan hakikat tertinggi dalam mencari
kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi
pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan
yang pasti, sehingga dapat menggunakannya sebagai alat untuk mengukur,
mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
b.
Imanuel
Kant (1724 – 1804)
Ia menyebut filsafatnya idealis
transcendental atau idealis kritis dimana paham ini menyatakan bahwa isi
pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap sebagai miliknya sendiri
melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi kita. Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak
sebenarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang dari luar
tidak melalui indra. Akan tetapi bila pengetahuan itu datang dari luar melalui
akal murni yang tidak bergantung pada pengalaman. Dapat disimpulkan bahwa filsafat idealis
transcendental menitik beratkan pada pemahaman tentang sesuatu itu datang dari
akal murni dan yang tidak bergantung pada sebuah pengalaman.
c.
Pascal
(1623-1662)
Pengetahuan diperoleh melalui dua
jalan, pertama menggunakan akal dan kedua menggunakan hati. Ketika akal dengan
semua perangkatnya tidak dapat lagi mencapai suatu aspek maka hatilah yang akan
berperan. Oleh karena itu, akal dan hati saling berhubungan satu sama
lain. Apabila salh satunya tidak
berfungsi dengan baik, maka dalam memperoleh suatu pengetahuan itu juga akan
mengalami kendala.
Manusia besar karena pikirannya,
namun ada hal yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia yaitu pikiran
manusia itu sendiri. Menurut pascal manusia adalah makhluk yang rumit dan kaya
akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan logika
tidak akan mampu dijadikan alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat
tersebut hanya mampu digunakan untuk memahami hal-hal yang bebas kontradiksi,
yaitu yang bersifat konsisten. Karena ketidakmampuan filsafat dan ilmu-ilmu
lain untuk memahami manusia, maka satu-satunya jalan memahami manusia adalah
dengan agama. Karena dengan agama, manusia akan lebih mampu menjangkau
pikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran, walaupun bersifat
abstrak.
Filsafat bisa melakukan apa saja,
namum hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada iman.
Sehebat apapun manusia berfikiir ia tidak akan mendapatkan kepuasaan karena
manusia mempunyai logika yang kemampuannya melebii dari logika itu sendiri.
Dalam mencari Tuhan Pascal tidak menggunkan m etafisika, karena selain bukan
termasuk geometri tetapi juga metafisika tidak akan mampu. Maka solusinya ialah
mengembalikan persoalan ke Tuhan pada jiwa. Filsafat bisa menjangkau segala
hal, tetapi tidak bisa secara sempurna. Karena setiap ilmu itu pasti ada
kekurangannya, tidak terkecuali filsafat.
d.
J.G
Fichte (1762-1914 M)
Adalah seorang filsuf jerman.
Berkelana ke Konigsberg untuk menemui Kant dan menulis “critique of Revelation” pada Zaman Kant. Dalam pemikirannya Fichte
menyatakan manusia memandangan objek benda-benda dengan indranya. Dalam
mengindra objek tersebut manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka
berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan mengabtraksikan objek itu
menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.
Hal tersebut bisa dicontohkan
seperti; kita melihat sebuah meja dengan mata kita, maka secar tidak langsung
akal (rasio) kita bisa menangkap bahwa bentuk meja yang seperti kita lihat (
berbentuk bulat, persegi panjang,dll). Dengan adanya anggapan itulah akhirnya
manusia bisa mewujudkan dalam bentuk nyata.
Menurut Fichte, dasar kepribadian
adalah kemauan, bukan kemauan irasional
malainkan kemauan yang dikontrol oleh kesadaran bahwa kebebasan diperoleh hanya
dengan melalui kepatuhan kepada peraturan. Kehidupan moral adalah kehidupan
usaha. Manusia akan dihadapkan pada rintangan-rintangan, dan manusia digerakan
pada rasa wajib bahwa ia berutang pada aturan moral. Resse (1980) menyimpulkan
filsafat Fichte sebagai berikut:
1)
Filsafat Fichte bertolak dari paham
Kant. Fichte lebih menekankan paham
idealismenya kepada kemauan moral. Dalam bukunya “ The Vocation of Man” yang ditulis untuk pembaca bukan filsuf argumennya;
bila setiap sesuatau terjadi oleh suatu keharusan suatu kausalitas, maka nkita
tidak bertanggung jawab atas tindakan kita karena sumber tindakan kita itu
adalah hokum alam, bukan kita.
2) Paham
keduanya mengatakan kurang tepat jika seseorang dikatakan paham karena ia
memikirkan obyek. Karena yang tepat adalah seseorang paham karena ia melihat
obyek, dan ini sebgaimana kita saksikan, adalaha cara manusia memahami, jadi
memahami dengan melihat.
3) Kita
tidak bisa memahami kesadaran kita dibandingkan dengan kesadaran tentang dunia.
Kita menempatkan ego sama dengan kita menempatkan non ego. Oleh karena itu,
kita menyadari bahwa ego itu lebih tinggi daripada Ego-Absolut.
4) Sebenarnya
kesadaran moral mengatakan kepada kita bahwa kita ini bebas, dan kita
bertanggung jawab sendiri atas perbuatan kita. Itu tidak akan sama seandainya
kita ini berada di dalam penguasaan hokum kausalias, yang telah diberikan
kepada kita sebelum kita menyadari.
5) Keunggulan
kesadaran moral ialah tidak memerlukan contoh, ia memerlukan dunia yang disana
kita bebas berbuat dan bertanggung jawab serta memenuhi tugas kita satu dengan
yang lainnya. Itu adalah dunia spiritual yang tidak ditentukan oleh ruang dan waktu.
6) Mengapa
kita mengenali pancaindra, karena jika kita mampu meningkatkan kebijakan kita
dalam mengenali berbagai kesulitan di dalam hidup ini.
7) Membiasakan
melakukan tugas terhadap satu sama lain, adalah suatu tugas kemanusiaan, yang
sebaiknya menjadi etika budaya dunia yang akan dapat menjaga kebebasan dan hak
setiap orang.
8) Dibelakang
tugas dan kesadaran moral itu ada roh (spirit) dan moral, yang dapat dikenali
pada diri Tuhan, Tuhan sebagai dunia, Logos, bukan sebagai pencipta atau
penyebab. Fichte itu disebutnya juga “Ada” (being)
atau absolute. Tuhan itu kekal (eternal),
maka ia mesti sempurna. Karena saya dan Anda adalah bagian dari susunan moral
yang menjadi satu dengan Tuhan, maka kita ini bersatu dengan Tuhan. Tuhan tidak sendirian, kitapun tidak sendirian, akan tetapi, pendapat ini
berujung pada bahwa saya juga akan kekal, tidak berubah, tetap. Saya kekal
secara sempurna.
e.
F.W.S.
Schelling (1775-1854 M)
Schelling telah matang menjadi
seorang filsuf disaat idia masih amat muda. Pada Tahun 1798 M, dalam usia 23
tahun, ia telah menjadi guru besar di universitas Jena. Inti dari filsafat
Schelling: yang mutlak atau ratio mutlak adalah sebagai identitas murni atau
indiferensi, dalam arti tidak mengenal yang subyektif dan yang obyektif. Yang mutlak menjelma diri dalam dua potensi yaitu yang nyata (alam
sebagai obyek) dan ideal ( gambaran alam yang subyektif dari subyek) yang
mutlak sebagai identitas mutlak nmenjadi sumber roh (subyek) dan alam (obyek)
yang subyek dan obyektif yang sdar dan tidak sadar, tetapi yang mutlak itu
sendiri bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang obyektif dan bukan pula
yang subyektif sebab yang mutlak adalah identitas mutlak atau indiferensi mutlak. Resse (1980)
mengatakan filsafat Schelling berkembang melalui lima tahap:
1) Idealism
Subyektif, mengikuti pemikiran Fichte.
2) Filsafat
Alam. Menerapkan prinsip atraksi dan repulse dalam berbagai problem filsafat
dan sains. Alam dilihat sebagai vitalistis,
self creative, dan dimotivasi oleh suatu proses dialektis.
3) Ideliasme
Transendental atau idealism obyektif.
Filsafat alam dilengkapi oleh suatu kesadaran absolute yang
perkembangannya merupakan wahyu Absolute dalam sejarah. Ia menyatakan bahwa
seni merupakan kesatuan antara subyek dan obyek, roh dan alam.
4) Filsafat
identitas, yang Absolut itu pada tahap ini menjadi lebih penting kedudukannya,
dipandang sebagai identitas semua individu isi alam.
5) Filsafat
positif. Pada tahap terakhir ini
pemikirannya menekankan nilai mitologi
dan mengakui perbedaan yang jelas antara
antara Tuhan dan alam semesta.
f.
G.W.
F. Hegel (1770-1031 M)
Pusat
filsafat hegel ialah konsep Geist (
roh, spirit) suatu istilah yang diilohami oleh agamnya. Istilah ini agak sulit
dipahami. Roh menurutnya adalah sesuatu yang real, kongkret, kekuatan yang
obyektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai world of spirit (dunia roh), yang menempatkan ke dalam obyek-obyek
khusus. Di dalam kesdaran diri, roh itu merupakan esensi sejarah manusia .
konsep filsafat hegel seluruhnya historis dan relative. Karena juga dipengaruhi
oleh pandangan-pandangan antropologi dan sosiologi modern, relativisme cukup
menonjol. Ia mengatakan bahwa apa yang benar ialah perubahan. Kunci filsafat hegel terletak pada
pandangannya tentang sejarah. Sejarah menurut
Hegel, mengikuti jiwa dialektik.
Proses
Dialektika selalu terdiri atas tiga fase; fase pertama (tesis) dihadapi antithesis sembilan fase kedua), dan akhirnya timbul
fase ketiga (sintesis). Dalam sintesis itu, tesis dan antithesis menghilang .
dapat juga tidak menghilang, ia masih ada, tetapi sudah diangkat pada tingkat
yang lebih tinggi. Sintesis segera menjadi tesis baru, dihadapi oleh antithesis
baru dan menghasilkan sintesis baru. Dan sintesis baru ini segera pula menjadi
tesis baru lagi, dan seterusnya.
Dari
penjelasan yang disampaikan oleh para tokoh mengenai Konsep Filsafat menurut
Aliran Idealisme, maka dapat dijabarkan sebagai berikut:.
a. Metafisika
–idealisme. Secara absolute kenyataan sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah,
sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan
rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih berperan.
b. Humanologi-ideliasme.
Jiwa dikaruniai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan
memilih.
c. Epistemology-
ideliasme. Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan
kembali melalui berpikir. Kebenarann hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa
orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang.
d. Aksiologi
–idealisme. Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang
diturunkan dari pendapat tentang kemyataan atau metafisika.
Demikian
manusia merupakan bagian dari ide mutlak, Tuhan sendiri. Ide yang berpikir
sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain.
2.
Prinsip-Prinsip
Idealisme
Menurut
Idealisme bahwa realitas tersusun atas substansi sebagaimana gagasan –gagasan
atau ide (spirit). Menurut penganut idealism, dunia beserta bagian-bagianya
harus dipandang sebagai suatu system yang masing-masing unsurnya saling
berhubungan. Dunia adalh suatu totalitas, suatu kesatuan yang logis dan
bersifat spiritual. Realitas atau kenyataan yang tampak di ala mini bukanlah
kebenaran yang hakiki, melainkan hanya gambaran natau ide-ide yang ada dalam
jiwa manusia.
Idealisme
berpendapat bahwa manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih
tinggi dari pada materi bagi kehidupan
manusia. Roh pada dasarnya dianggap sebagai suatu hakikat yang sebenarnya
sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma.
Demikian pula terhadap alam adalah ekspresi dari jiwa.
Idealism
berorentasi kepada ide-ide yang “theo Sentris” (berpusat Kepada Tuhan), kepada
jiwa, spiritualitas, hal-hal yang ideal (serba cita) dan kepada norma-norma
yang mengandung kebenaran mutlak. Oleh karena itu nilai- nilai idealism bercorak spiritual, oleh karena itu
kaum idealisme mempercayai adanya Tuhan sebagai ide tertinggi atau Prima Causa
dari kejadian alam semesta ini.
C.
Aliran
Empirisme
Empirisisme adalah suatu doktrin
filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta
pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peranan akal. Dua ciri pokok
empirisisme Teori makna yang dinyatakan sebagai asal usul, idea atau konsep.
Yang pada Abad Pertengahan dirumuskan
sebagai Nihil est in intellectu quod non
prius fuerit in sensu yang artinya tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita
selain didahului oleh pengalaman (Encyclopedia Americana: 10).
Pernyataan tersebut merupakan tesis
Locke yang terdapat dalam bukunya , An Essay Concerning Human Understanding,
yang dikeluarkan tatkala ia menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis. Menurut Locke,; jiwa (mind) itu tatkala orang dilahirkan,
keadaannya kosong, laksana kertas putih (tabula rasa) yang belum ada tulisan di
atasnya dan setiap idea yang diperolehnya mestilah datang melalui pengalaman
inderawi atau pengetahuan itu datang dari observasi yang kita lakukan terhadap
jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut innersense
(pengindera dalam).
David Home mempertegas teori ini dalam
pembukaan bukunya Treatise of Human Nature (1793) dengan cara membedakan idea
dan kesan (impression). Semua idea yang kita miliki datang dari kesan-kesan dan
kesan itu mencakup penginderaan, passion dan emosi.
.Melalui karyanya Descartes menyanggah
orang-orang Rasionalis yang membedakan dua fungsi akal; pertama fungsi
diskursif yang menjadikan kita mampu membuat kongklusi dari premis; dan kedua
fungsi intuitif yang menjadikan kita mampu menangkap kebenaran teakhir dan
menangkap konsep secara langsung. Memang banyak pengetahuan yang kita peroleh
lewat pengalaman indera tetapi banyak pula idea lainnya, seperti idea tentang
jiwa, substansi materi yang harus ditangkap dengan cara a priori yaitu meggunakan intuisi rasional.
Pada abad ke-20, kaum empirisis
menggunakan teori makna untuk menentukan apakah suatu konsep diterapkan dengan
benar atau tidak, bukan asal usul pengetahuan. Charles Sanders Pierces
menggunakn empirisisme secara pragmatis dalam kalimat “Tentukanla apa pengaruh
konsep itu pada praktek yang dapat dipahami, kemudian konsep tentang pengaruh
itu, itulah konsep tentang obyek tersebut.”
Teori makna dan empirisme selalu harus
dipahami lewat penafsiran pengalaman. oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa
dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat diindera dan
hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.
Teori pengetahuan, menurut orang
rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tentu mempunyai
sebab, dasar-dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika dan
kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya (a priori yang diperoleh lewat
intuisi rasional); tetapi Empirisisme menolak pendapat itu karena tidak ada
kemampuan intuisi rasional itu, semua kebenaran yang disebut tadi adalah
kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a posteriori
(Encyclopedia Americana: 10)
1.
Tokoh-
Tokoh Empirisme
Satu yang paling penting dalam
perkembangan filsafat adalah adalah adanya aliran empirisme yang dikemukakan
oleh John Locke. Diantara tokoh-tokoh tersebut diantaranya adalah sebagai
berikut(Mohadjir.2015:29-39):
a.
John
Locke
John Locke lahir di Wrington,
Somersetshire pada tahun 1632. Tahun 1647-1652, ia belajar di Westminster.
Tahun 1652, ia memasuki Universitas Oxford.
Filsafat Locke dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara
yang diajarkan oleh Descartes tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh
Descartes, ia juga menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan
generalisasi berdasarkan pengalaman (induksi). Ia juga menolak akal (reason).
Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan
metode induksi.
Buku Locke, Essay Concerning Human Understanding, 1689 dituliskan bahwa tidak
ada yang dijadikan idea atau konsep tentang sesuatu yang berada di belakang
pengalaman, tidak ada idea yang diturunkan seperti yang diajarkan Plato (innate idea) dengan argumen:
1) Dari
jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada.
Sebenarnnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bahwa pengetahuan itu
datang yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan,
dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian asli...
2) Persetujuan
umum adalah argumen yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang disetujui oleh umum
tentang adanya innate idea itu sebagai daya yang inhern. Argumen ini ditarik
dari persetujuan umum. Bagaimana kita akan mengatakan innate idea itu ada pahal
umum tidak mengakui adanya.
3) Persetujuan
umum membuktikan tidak adanya innate idea.
4) Apa
innate idea itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak
diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan innate idea ada justru saya jadikan
alasan bahwa innate idea itu tidak ada.
5) Tidak
juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, idea yang
innate itu tidak ada, padahal anak idiot dan anak normal sama-sama berfikir.
Argumen ini secara tegas menolak adanya
innate idea, sekalipun ada tidak dapat dibuktikan adanya. Lebih jauh Locke
berkata;
“Marilah
kita andaikan jiwa itu laksana kertas kosong, tidak berisi apa-apa, juga tidak
ada idea di dalamnya. Bagaiman ia berisi sesuatu? Untuk menjawab pertanyaan ini
saya hanya mengatakan: dari pengalaman; di dalamnya seluruh pengetahuan didapat
dan dari sana seluruh pengetahuan berasal”.
Tetapi Locke lupa bahwa untuk menarik
idea dari pengalaman-pengalaman diperlukan prinsip. Prinsip bukan diambil dari
pengalaman. tetapi menurut Leibniz, prinsip itu adalah innate idea. Pandangan
tabula rasa dari John Locke merupakan konsep epistemologi dan teori pengetahuan empirisisme dan masih
ada pandangan lagi yaitu hubungan antar idea seperti dalam matematika,logika
dan konsep-konsep kebenaran trivial seperti kuda adalah hewan, dan semua ide
itu juga datang dari pengalaman. Di dalam teori tabula rasa, John Locke
menggunakan tiga istilah, yaitu; sensasi
(sensation) atau data inderawi (sense-data); idea-idea (ideas) yaitu
berupa persepsi atau pemikiran atau pengertian yang tiba-tiba tentang suatu
obyek; dan sifat (quality) seperti merah, bulat, berat.
Adapun argumen tentang tiga istilah yang
digunakan John Locke adalah sebagai berikut:
1) Simple
idea tentang sensasi bahwa apa saja yang ada di dalam alam ini, yang
mempengaruhi penginderaan kita akan menyebabkan adanya persepsi dalam jiwa dan
menghasilkan pengertian sederhana (simple idea).
2) Idea
tentang panas dan dingin, berat dan ringan, hitam dan putih sama jelasnya di
dalam jiwa sekalipun tidak begitu jelas bagaimana proses itu terjadi sejak
masuknya obyek idea-idea yang jelas tanpa memperhitungkan caranya berproses.
3) Untuk
mengenali idea-idea kita itu lebih baik kita mengenal sifatnya; pertama idea
sebagai pengertian tentang obyek yang ada dalam jiwa kita dan kedua idea
sebagai perubahan-perubahan matter dalam bodies yang menyebabkan persepsi pada
kita. Dan menurut Locke, yang terakhir bukan gambaran (image) obyek itu yang
inheren dalam jiwa.
4) Apapun
yang dipahami oleh jiwa dalam dirinya sendiri atau berupa persepsi tiba-tiba
tentang obyek, saya sebut idea dan daya yang menghasilkan idea dalam jiwa
disebut quality dalam subyek, misal: bola es menghasilkan dalam jiwa kita
putih, bulat, dingin, Daya pada bola es itu adalah qualities, karena qualities
merupakan sensasi atau persepsi dalam pemahaman (idea).
Dasar dari teori Locke adalah common
sense (anggapan umum) tentang perbedaan antara obyek fisik di dunia nyata serta
inderawi dan obyek fisik di dalam jiwa kita. Jadi, sifat obyek (qualities) terdapat di dalam obyek itu
di dunia nyata, seperti ukuran, bentuk dan lain-lain, tetapi qualities tidak
bebas dari pengaruh organ penginderaan. Sifat asli yang dimiliki obyek itu adalah primary qualities (sifat pertama) dan
sifat obyek yang ditangkap oleh indera disebut secondary qualities (sifat
kedua).
Penjelasan tentang primary qualities dan
secondary qualities adalah sebagai berikut;
a)
Primary
qualities
Sifat yang ada di dalam body adalh tidak
dapat dipindahkan dari body itu; ia terjaga, contohnya: segenggam gandum
bagilah mejadi dua bagian, setiap bagian masih memiliki sifat padat, keluasan,
bentuk, mobilitas. Kemudian bagi lagi, dan masih memiliki sifat yang sama,
bagilah terus sampai bagian-bagian itu tidak dapat diindera, tetapi sebenarnya,
sifat-sifat tadi masih melekat pada bagian-bagian yang idak dapat diindera itu.
Karena pembagian itu tidak dapat menghilangkan sifat-sifat tersebut, tetapi
hanya mampu membagi massa gandum. Sifat yang tidak dapat dihilangkan tersebut
disebut sifat asli (primary qualities)
b)
Secondary
qualities
Sifat yang ada pada bodies adalah sifat
kedua yaitu sifat yang tidak ada pada body tersebut tetapi merupakan sifat yang
menghasilkan berbagai sensasi pada kita yang berasal dari primary qualitiesitu,
seperti bentuk, gerak, warna, suara dan rasa yang ada pada bagian yang tidak
dapat diindera. Sifat-sifat itu adalah kekuatan (power). Contoh sifat panas
pada api menghasilkan sifat membakar, atau sifat-sifat lain yang tidak ada pada
primary quality api.
Pertanyaan sekarang adalah apakah obyek
fisik itu yang menyebabkan kita dapat mengindera obyek dan dari sana kita
mempunyai idea tentangnya? Jawaban Locke: ya dengan impulse. Berdasarkan model ini Locke mengembangkan teori kausalitas
tentang persepsi, yaitu: bila obyek luar tidak bersatu dengan jiwa kita dan
mereka menghasilkan idea-idea dalam jiwa kita sehingga kita dapat memahami
sifat asli (original quality/primary
quality) obyek itu melalui alat
indera kita, itu bukti adanya gerakan yang meneruskan sensasi itu yaitu syaraf
kita atau animal spirit ke otak yang akhirnya kita memahami primary qualities
itu. Tentang gerak, obyek masuk melalui alat indera pelihat, dikirim ke otak
lalu terbentuk ide tentang gerak benda.
Tentang sifat kedua adalah dengan cara
sama dengan primary qualities itu, kita dapat memahami sifat kedua yaitu oleh
operasi partikel yang tidak dapat diindera karena sifat-sifat itu bukan pada
obyek itu melainkan daya (power) yang
menghasilkan berbagai sensasi pada kita yang bergantung pada primary qualities.
Jadi, kesimpulannya adalah ide-ide
tentang primary qualities obyek ada pada obyek itu, pola mereka ada pada obyek
itu sendiri tetapi idea yang dihasilkan dalam jiwa kita oleh secondary
qualities tidak berada pada obyek itu. Jadi, idea yang ada pada jiwa kita tidak
sama dengan yang ada pada obyek. Yang kita ambil dari obyek itu adalah power
untuk menghasilkan sensasi itu dalam diri kita; misalnya manis, biru, panas
dalam diri kita merupakan besaran, bentuk, gerak pada bagian dari obyek (part)
yang tidak dapat kita indera; part itu ada dalam obyek itu.
Inilah
dasar teori itu, tetapi teori ini belum dapat menyelesaikan masalah
penting metafisika, bagaimana tentang substansi? Locke sering berbicara tentang
intuisi; Pengetahuan itu kita peroleh lewat intuisi. Eksistensi Tuhan, akallah
yang memberitahukannya kepada kita.
Akan tetapi, ia mengatakan; sebagai
seorang empirisis, pengetahuan kita hanyalah yang datang lewat penginderaan.
Sekalipun tampak kebimbangan Locke antara reason (intuisi) dan sensasi, pada
akhirnya Locke menyatakan bahwa kita mengetahui sesuatu dengan cara memahaminya
sesuai dengan yang dikirim oleh pengindera kia.
Kesimpulan Locke adalah subtance is we
know not what, tentang substansi kita tidak tahu apa-apa. Ia menyatakan bahwa
apa yang dianggapnya substansi ialah pengertian tentang obyek yang dibentuk
oleh jiwa berdasarkan masukan dari indera. Akan tetapi Locke tidak menegaskan
bahwa idea itu adalah sbstansi obyek.
b.
David
Hume (1711-1776)
Hume menulis buku Treatise of Human
Nature (1739) ketika ia berumur dua puluhan bagian awal tetapi buku itu kurang
terkenal. Tahun 1748, Hume menulis buku An Enquiry
Concerning Human Understanding yang terkenal. Kedua buku tersebut
menggunakan metode empirisisme. Sementara Locke hanya sampai pada idea yang
tidak jelas berbasis pada sensasi (khususnya tentang substansi dan Tuhan), hume
lebih kejam lagi, dalam salah satu babnya ia menulis (Taisir. 2012:___):
“Bila
kita membuka buku di perpustakan, membaca prinsip-prinsip yang diajarkan oleh
empirisis, malapetaka apa yang kita lakukan? Bila kita embaca satu jilid buku
metafisika, apakah ia menyebutkan sesuatu tentang kuantitas? Tidak, apakah buku
it berisi uraian tentang materi nyata? Tidak. Buang saja buku itu karena buku
itu tidak berisi apa-apa hanya berisi tentang kebimbangan dan ilusi. Di sini
Hume mengukur kebenaran dengan pengalaman sebagai alat ukur”.
Sama dengan pendahulunya yang empirisis,
Hume menyatakan bahwa semua pengetahuan dimulai dari pengalaman indera sebagai
dasar. Kesan (impression) bagi Hume
sama dengan penginderaan (sensation) dari Locke. Hume menyatakan sebagai
berikut (Taisir. 2012:____):
“Semua persepsi
jiwa manusia terbentuk melalui dua alat yang berbeda yaitu impression dan idea.
Perbedaan kedua-duanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa
dan jalan masuk ke kesadaran. Persepsi dengan kekuatan besar dan kasar saya
sebut impression (kesan) yang berisi semua sensasi, nafsu, emosi ketika mereka
masuk ke dalam jiwa. Sedangkan idea adalah gambaran kabur (faint image) tentang
persepsi yang masuk dalam pemikiran”.
Menurut Hume, persepsi itu dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu persepsi
sederhana (simple) dan ruwet (kompleks). Karena idea yang sederhana
berasal dari kesan yang sederhana, contohnya: merah, bundar. Dan idea yang
lebih kompleks misalnya apel itu bentuk bulat, warna merah, rasa apel, bau apel
dan seterusnya yang ditentukan oleh penglihatan.
Tetapi teori Hume tidak dapat
menyelesaikan masalah metafisika, misalnya mengenai Tuhan dan substansi, obyek
ini tidak mempunyai basis pada pengalaman dan tidak juga mempunyai basis berupa
hubungan-hubungan antaridea yang dapat didemontrasikan melalui logika sederhana
atau pembuktian matematis. 3 argumen Hume untuk menganalisis sesuatu;
1) Kausalitas
(sebab akibat) yaitu suatu kejadian disebabkan oleh kejadian lain. Adanya
hubungan terkuat (the strongest
connections) antara pengalaman dan kausalitas universal (the cement of universe. Kausalitas universal adalah hukum yang
mengatakan bahwa setiap kejadian pasti mempunyai penyebab misalnya kenapa mobil
mogok? .
2) Karena
kausalitas dan penerapannya secara universal maka dapat diperkirakan masa lalu
dan masa depan kejadian, misalnya kalau kita bangun jam 6 pagi, pasti matahari
sudah terbit karena dari pengalaman masa lalu jam 6 pagi matahari sudah terbit
dan ini menerapkan prinsip induksi yaitu masa depan akan seperti masa lalu.
3) Dunia
luar diri memang ada yaitu dunia yang bebas dari pengalaman kita, dunia itu ada
meskipun kita tidak mempunyai kesan dan idea tentangnya. Hume dan Berkeley
menolak substansi yang tidak dipahami tetapi Berkeley menggunakan penolakan itu
untuk mempertahankan Tuhan, sedangkan Hume menggunakan itu untuk menolak adanya
Tuhan, ia memang seorang skeptis. Ia bertahan pada pendiriannya bahwa menerima
eksistensi hanya bila eksistensi itu memang eksisten.
Argumen tersebut salaing berkaitan yaitu
pengertian tentang sebab yang mendukung prinsip induksi. Dan itu adalah teori
kausalitas tentang persepsi yang mendukung keyakinan tentang dunia luar diri.
Hume mengambil kausalitas sebagai pusat utama seluruh pemikirannya. Ia menolak
prinsip kausalitas universal dan menolak juga prinsip induksi dengan
memperlihatkan bahwa tidak ada yang dapat dipertahankan, baik relation of ideas
maupun matter of fact. Dengan penjelasan bahwa semua obyek pemikiran alamiah
dapat dibagi dua yaitu relation of ideas dan matter of fact. Relation idea
adalah pengetahuan yang jelas dengan sendirinya secara akal maupun secara
intuitif seperti pada aljabar, geometri, aritmatika. Dan matter of fact adalah pengetahuan yang tidak terbukti kebenarannya
maupun kepalsuannya, misalnya apakah matahari akan terbit atau tidak terbit
besok? Dapat dijawab dengan hukum sebab
akibat, menurut Hume mengetahui sebab akibat bukan melalui akal melainkan
melalui pengalaman. Setiap akibat berasal dari penyebab dab akibat itu tidak
ditemukan dalam penyebab.
Argumen Hume yang menentang prinsip
kausalitas universal dan prinsip induksi merupakan argumen menentang
rasionalisme, ia mengatakan bahwa hanya dengan berpikir, tanpa informasi dari
pengalaman, kita tidak mengetahui apa-apa tentang dunia. Dengan pengalaman kita
juga mengetahui tentang hakikat sesuatu.
c.
Herbert
Spencer (1820-1903)
Filsafat Herbert Spencer berpusat pada
teori evolusi. Sembilan tahun sebelum Darwin, Spencer sudah menerbitkan bukunya
tentang teori evolusi yang berjudul The
Origen of Species (1859). Empirisisme terlihat jelas dalam filsafatnya
tentang the great unknowable,
menurutnya kita hanya mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Di
belakang gejala-gejala itu ada suatu dasar yang absolut, tetapi absolut itu
tidak kita ketahui (the great unknowable), misalnya apakah materi itu? Menurut
Spencer, kita mendeduksi materi menjadi atom-atom, kemudian atom kita bagi
menjadi lebih kecil sampai akhirnya pada unsur yang tidak dapat dibagi lagi
karena kecilnya. Akan tetapi, bagian yang terkecil itu tidak dapat dipahami.
Jadi, ruang dan waktu pada akhirnya adalah dua obyek yang tidak dapat kita
ketahui (the great unknowable atau teka teki besar).
Penyebab ketidaktahuan itu adalah
kerelatifan seluruh pengetahuan kita, kita berfikir dengan cara
menghubung-hubungkan pengetahuan sehingga pikiran kita dibentuk oleh
gejala-gejala itu dan tidak mungkin kita menembus bagian belakang gejala
tersebut, maka tidak mungkin rekonsiliasi antara sains dan agama. Biarlah sains
membicarakan agama; menolak Tuhan, mengambil materialisme dan biarkanlah agama
mempertahankan Tuhan dan menolak materialisme. Spencer memperkenalkan kepada
kita formula evolusinya yang terkenal. Konsep itu dijelaskan sebagai berikut
(Taisir .1992___) :
“Pertumbuhan
planet-planet; pembentukan lautan dan pegunungan, metabolisme unsur-unsur oleh
tanaman; perkembangan jantung dalam janin; perkembangan otak setelah kelahiran;
penyatuan penginderaan dan ingatan menjadi pengetahuan dan pemikiran,
pengetahuan menjadi teori sains dan fisafat; perkembangan keluarga menjadi clan
dan kota, lalu negara dan persatuan negara-negara menjadi federasi dunia;
inilah yang dimaksud dengan integrasi materi. Ada unsur-unsur yang membantu
terwujudnya proses itu menuju tujuan sampai terbentuk suatu ikatan dan
kerjasama untuk hidup. Lalu Spencer membicarakan evolusi kehidupan, evolusi
pemikiran, evolusi masyarakat dan evolusi moral”.
Kehidupan dalah penyesuaian terus
menerus mengenai hubungan antara dalam dan luar diri; kesempurnaan kehidupan
bergantung pada kesempurnaan korespondensi ini; kehidupan itu sempurna bila
hubungan dalam dan luar diri itu sempurna. Hubungan itu bukan sekedar adaptasi yang
berlangsung pasif melainkan berupa adaptasi dinamis dalam penyesuaian relasi di
dalam diri dengan relasi di luar diri, perubahan di luar diadaptasi oleh
perubahan yang ada di dalam, misalnya makan bila lapar.
Evolusi juga terjadi dalam kejiwaan yang
dapat dilihat pada modus-modus respon, dari respon sederhana menuju respon yang
kompleks, dari refleks menuju naluri melalui ingatan dan imajinasi menuju
pemikiran dari jalan logika. Masyarakat juga berevolusi dari sifat kelompok
atau masyarakat atau negara mereduksi sifat-sifat itu menjadi satu (memperkecil
perbedaan).
Moral pun berkembang
secara evolusi yaitu perkembangan moral dimulai dari penyesuaian antara salah
tindak dan benar tindak menuju tindakan tertinggi yaitu kesempurnaan kehidupan.
REFRENSI
_______.
2006. The Blackwell guide to Philosophy
Of Science. New York & London : Routledge Group
Ahmad,
Tafsir. 1992. Filsafat Umum. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Ahmad,
Taisir. 2004. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan
Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Fauzan.2009.
Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Insyira
Gerhard,
Schurz. 2014. Philosophy Of Science A
Unified Approach. New York & London: Routledge group.
Kniper.T.A.F.
_____. General Philosophy Of Science
Local Issues._____:GH
Noeng,
Muhadjir. 2015. Filsafat Ilmu (Edisi V
Pengembangan 2015). Yogyakarta: Rake Sarasin
Suriasumantri, J.S.
1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer. Jakarta: Sinar Harapan
No comments:
Post a Comment