Konsep
Kearifan Lokal
Kearifan lokal
menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup BAB
I Pasal 1 butir 30 adalah adalah“nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan
hidup secara lestari”.
Selanjutnya Ridwan (2007: 2) menampilkan:
Kearifan lokal
atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan
menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap
sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Pengertian
tersebut, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan
seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap
sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi.
Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan
sebagai "kearifan/kebijaksanaan". Local secara spesifik menunjuk
pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai
ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan
suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan
lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut
setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun
hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan
yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai
tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah
laku mereka.
Adapun menurut
Keraf (2010: 369) bahwa kearifan lokal adalah sebagai berikut:
Yang dimaksud
dengan kearifan tradisional di sini adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi kearifan lokal
ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang
manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga
menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan
bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus
dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan
dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk
pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap
alam dan Yang Gaib.
Hal tersebut
menunjukkan bahwa:
Pertama,
kearifan tradisional adalah milik komunitas. Demikian pula, yang dikenal
sebagai pengetahuan tentang manusia, alam dan relasi dalam alam juga milik
komunitas. Tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat
individual.
Kedua, kearifan
tradisional, yang juga berarti pengetahuan tradisional, lebih bersifat praktis,
atau “pengetahuan bagaimana”. Pengetahuan dan kearifan masyarakat adat adalah
pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologis, sehingga
menyangkut bagaimana berhubungan secara baik dengan semua isi alam. Pengetahuan
ini juga mencakup bagaimana memperlakukan setiap bagian kehidupan dalam alam
sedemikian rupa, baik untuk mempertahankan kehidupan masing-masing spesies
maupun untuk mempertahankan seluruh kehidupan di alam itu sendiri. Itu
sebabnya, selalu ada berbagai aturan yang sebagian besar dalam bentuk larangan
atau tabu tentang bagaimana menjalankan aktivitas kehidupan tertentu di alam
ini.
Ketiga, kearifan
tradisional bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman
tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta. Alam adalah
jaring kehidupan yang lebih luas dari sekedar jumlah keseluruhan bagian yang
terpisah satu sama lain. Alam adalah rangkaian relasi yang terkait satu sama
lain, sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus merupakan suatu
pengetahuan menyeluruh.
Keempat,
berdasarkan kearifan tradisional dengan ciri seperti itu, masyarakat adat juga
memahami semua aktivitasnya sebagai aktivitas moral. Kegiatan bertani, berburu
dan menangkap ikan bukanlah sekedar aktivitas ilmiah berupa penerapan
pengetahuan ilmiah tentang dan sesuai dengan alam, yang dituntun oleh
prinsip-prinsip dan pemahaman ilmiah yang rasional. Aktivitas tersebut adalah
aktivitas moral yang dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu-tabu moral
yang bersumber dari kearifan tradisional.
Kelima, berbeda
dengan ilmu pengetahuan Barat yang mengkalim dirinya sebagai universal, kearifan
tradisional bersifat lokal, karena terkait dengan tempat yang partikular dan
konkret. Kearifan dan pengetahuan tradisional selalu menyangkut pribadi manusia
yang partikular (komunitas masyarakat adat itu sendiri), alam (di sekitar
tempat tinggalnya) dan relasinya dengan alam itu. Tetapi karena manusia dan
alam bersifat universal, kearifan dan pengetahuan tradisional dengan tidak
direkayasapun menjadi universal pada dirinya sendiri. Kendati tidak memiliki
rumusan universal sebagaimana dikenal dalam ilmu pengetahuan modern, kearifan
tradisional ternyata ditemukan di semua masyarakat adat atau suku asli di
seluruh dunia, dengan substansi yang sama, baik dalam dimensi teknis maupun
dalam dimensi moralnya.
Menurut Teezzi,
dkk (dalam Ridwan, 2007:3) mengatakan bahwa "akhir dari sedimentasi
kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama". Dalam
masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah,
sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari.
Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat
yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin
dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai
itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi
bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku
mereka sehari-hari.
Proses
sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke
generasi berikut. Teezzi, dkk (dalam Ridwan, 2007:3) mengatakan bahwa
„kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial
and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang
estetik maupun intuitif‟.
Ardhana (dalam
Apriyanto, 2008:4) menjelaskan bahwa: menurut perspektif kultural,
kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan
dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka. Termasuk
berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, bertingkah laku dan bertindak yang
dituangkan sebagai suatu tatanan sosial.
Di dalam
pernyataan tersebut terlihat bahwa terdapat lima dimensi kultural tentang
kearifan lokal, yaitu (1) pengetahuan lokal, yaitu informasi dan data tentang
karakter keunikan lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat untuk
menghadapi masalah serta solusinya. Pengetahuan lokal penting untuk diketahui
sebagai dimensi kearifan lokal sehingga diketahui derajat keunikan pengetahuan
yang dikuasai oleh masyarakat setempat untuk menghasilkan inisiasi lokal; (2)
Budaya lokal, yaitu yang berkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan yang telah
terpola sebagai tradisi lokal, yang meliputi sistem nilai, bahasa, tradisi,
teknologi; (3) Keterampilan lokal, yaitu keahlian dan kemampuan masyarakat
setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki; (4)
Sumber lokal, yaitu sumber yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dan melaksanakan fungsi-fungsi utamanya; dan (5) proses sosial lokal,
berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat dalam menjalankan fungsi-
fungsinya, sistem tindakan sosial yang dilakukan, tata hubungan sosial serta
kontrol sosial yang ada.
Refrensi:
Keraf, A.S. (2010). Etika Lingkungan
Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Ridwan, N.A. (2007). “Landasan Keilmuan
Kearifan Lokal”. Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol.5, (1), 27-38.
Apriyanto, Y. dkk. (2008). “Kearifan
Lokal dalam Mewujudkan Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan”.
Makalah Pada PKM IPB, Bogor.
Labels: Pendidikan Geografi
No comments:
Post a Comment